Thursday
Aku tersenyum saat terjaga dari tidurku
yang nyenyak. Dulunya, semua hari sama artinya bagiku. Namun, kedatangan email
pertama dari sahabatku seolah merubah sesuatu. Aku mulai menyukai Thursday. Menantikan kedatangannya
dengan harapan yang membubung tinggi. Bagaimana tidak, setelah sekian lama
komunikasi yang terjalin dengan gadis-gadis yang telah menjadi sahabatku itu
mengalami gangguan, dengan baiknya Tuhan mempertemukan kami lagi dengan cara
seperti ini. Sekalipun aku harus berdamai dengan diriku yang sangat tidak
sabaran mengenai apapun, tapi disini aku dipaksa sabar. Sabar menanti waktu
mengantarkanku ke hari yang mulai menempati tempat spesial dalam hidupku.
Aku bangkit dari tempat tidurku dengan
semangat yang menyala. Tugas rumah yang menggunung dan wajib ku selesaikan
secepat mungkin ternyata tak membuat semangatku surut. Aku lelah, tentu saja.
Tapi semua merupakan tugasku. Liburan di rumah tak ubahnya training menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang tentu akan sangat
membantu nantinya di saat aku menyandang status itu.
Dua minggu sudah aku di rumah. Tidak pergi
kemana-mana. Alih-alih liburan ke luar kota seperti kebanyakan orang diluar sana
yang bisa mengisi liburan mereka dengan sesuatu yang baru, sekedar jalan-jalan
sore pun aku tidak. Apa ada yang tidak beres denganku? Tentu tidak. Aku adalah
gadis yang sangat mencintai diriku, mencintai segala keinginan dan sejuta
impian yang aku punya. Tapi keluarga, orang tua dan kehidupan yang sekarang aku
jalani memberikan batas tertentu kepadaku. Aku tidak mengutuk apa yang saat ini
aku terima, aku mensyukurinya, sangat mensyukurinya. Aku dianugerahi keluarga
yang sangat mengedepankan kebersamaan. Tapi sesekali hasrat dan keinginanku
bisa kesana kemari, ke tempat itu, mengunjungi ini, mengunjungi itu menyayangkan
batasan itu.
Di usiaku yang bukan gadis belasan lagi,
aku sudah cukup dewasa untuk memahami semuanya. Memahami didikan orang tuaku
yang tak bisa ku pungkiri, konvensional. Aku telah terbiasa menerimanya. Dari
sekian banyak hal yang tidak bisa kulakukan dulunya, perlahan bisa kulakukan
sekarang. Meskipun sedikit terlambat dari kawanan seusiaku.
Aku mulai menyadari sesuatu, didikan
seperti ini mungkin jalan terbaik untuk mendidik gadis sepertiku, dengan sejuta
impian dan keinginan yang terlalu gila bagi kebanyakan orang. Sifat keras dan
egois mematikan yang bersarang di diriku mungkin juga menjadi alasan kuat yang
terlihat oleh kedua orangtuaku, terutama Ibu, sehingga beliau bersekukuh mendidikku
dengan peraturan ini itu. Aku ingat kata-katanya yang selalu berhasil
membungkam kata-kataku saat berniat membela diri “seorang Ibu tahu yang terbaik
untuk anaknya”. Aku kesal saat itu. Masa remaja yang begitu indah menjadi
begitu membosankan saat terikat dengan berbagai peraturan yang tak ku inginkan.
Aku iri melihat orang-orang disekelilingku yang bisa bebas dengan keinginan
mereka. Kebahagiaan yang mereka perihatkan seperti ejekan yang secara tidak
langsung ditujukan padaku.
Aku tersenyum berselubung penyesalan
mengingat semua pikiran picik yang pernah aku miliki dulunya. Ibuku tidak
salah, hanya caranya mendidikku sedikit berlebihan. Sekarang aku tahu, didikan
keras dan penuh batasan yang aku terima, ternyata benteng kokoh yang berhasil menyelamatkanku
dari perkembangan zaman yang bagai air bah, siap menyeret siapapun jika lengah
sedikit saja.
Inilah aku sekarang. Gadis yang kadang
dikasihani orang, kadang dijadikan bahan omongan tetangga karena terlalu jadi
anak rumahan, dan Alhamdulillah, sebanyak mereka menjadikanku sasaran
gunjingan, sebanyak itu pula akhirnya aku mendapatkan pujian secara tidak
langsung. Ibuku hebat. Aku terhindar dari dunia malam yang telah menjadi tren
muda mudi sekarang. Aku selamat dari pergaulan menyesatkan yang tak sekali
datang menggodaku untuk mencoba ini itu bersama mereka yang mengaku temanku. Semua
berkat peraturan ini itu dan batasan yang ku kategorikan menyebalkan dan tidak
berperasaan dari sang Ibu.
***
Aku telah berada di ruang
tengah, menonton drama korea “The Thorn Bird” yang begitu ku suka, tugas rumah
selesai, dan tubuhku juga telah kembali bersih dan segar. Disela-sela tontonan,
tanganku meraih ponsel kesayangan
yang telah berumur empat tahun lebih, yang menjadi saksi perjuanganku dalam hal
pendidikan dan cinta. Aku begitu mencintai ponselku ini. Kehilangannya sama
saja kehilangan hal penting dalam hidupku.
Seraya mengikuti alur cerita
dari drama yang ku tonton, aku juga memanfaatkan pelayanan hemat yang
ditawarkan pihak telkomsel kepada pelanggannya. 0.facebook.com. Sekalian melepas rindu dengan dunia maya tanpa
menghabiskan banyak pulsa. Berpandai-pandai itu perlu. Lagi pula aku bisa
mengetahui banyak hal dari mereka yang ku kenal tanpa bertanya kepada mereka.
Karena dengan sendirinya mereka akan memuatnya di stat mereka. Dalam hal ini
teknologi membantuku semakin mengenali karakter mereka tanpa bertatap muka.
Perkembangan zaman melahirkan buku-buku terbuka untuk semua kalangan usia.
Tentu ada positif dan negatifnya. Semua kembali kepada kepribadian
masing-masing orang. Namun jika tidak berhati-hati, perkembangan teknologi bisa
menjelma menjadi sesuatu yang sangat berbahaya.
Aku teringat masalah yang pernah
aku temui karena facebook. Lebih
tepatnya facebook berhasil menghancurkan
kepercayaanku terhadap seseorang yang sangat kupercaya, orang yang menempati
tempat spesial di hatiku, Zylan. Sebagai seorang kekasih, aku termasuk golongan
yang teramat enggan menunjukkan kecintaan yang berlebihan. Aku terbiasa cuek,
dan bersikap apa adanya. Aku percaya sesuatu yang berlebihan hanya akan jadi
perusak.
Setelah empat tahun lebih menutup
diri dari laki-laki, aku beranikan untuk menjalani hubungan dengan Zylan.
Hubungan ini berawal dari persahabatan yang begitu indah. Kemana aku pergi,
bagaimana keadaanku, dia seakan menjadi orang pertama yang tahu segalanya.
Bahkan saat aku terpuruk dan menjadi gadis bodoh yang menangis tersedu-sedu
tanpa bicara sedikit pun, dia tetap setia berada di sampingku. Dia duduk di
sampingku hanya untuk menjadi penonton terbaik yang begitu mengerti bahwa aku
benci dihadiahkan pertanyaan saat kesedihan menyelimutiku. Jika diingat lagi,
mustahil rasanya aku akan kecewa dan terluka karena dia.
Perlahan perasaan yang berbeda
menghampiri persahabatan antara aku dan dia. Semua terasa semakin istimewa dan
cinta hadir diantara kami. Setiap hari perlakuan yang dia berikan penuh dengan
kasih sayang. Aku dibuai setiap saat. Dunia seakan jadi saksi kecintaannya
padaku. Hatiku yang dulunya bagaikan batu, hancur menjadi pasir saat merasakan
setiap kasih sayang yang dia curahkan. Aku terlena, hanyut akan kebahagiaan,
tanpa menyadari sesuatu yang buruk mulai menimpaku.
Hingga suatu hari, kenyataan
pahit kudapatkan. Entah apa yang membisikkan padaku, sehingga aku membuka facebooknya tanpa sepengetahuannya. Aku
mengetahui email dan passwordnya. Seumur-umur, aku belum
pernah selancang itu, aku tidak pernah mengusik privasi seseorang, terutama
orang yang begitu ku percaya. Bagiku, kepercayaan adalah tiang terkokoh dalam
menjalani sebuah hubungan. Apa guna dan artinya sebuah hubungan tanpa
kepercayaan di dalamnya. Tapi sekali lagi, aku tidak tahu kenapa aku sanggup
melakukan semuanya, yang terlintas dibenakku hanya “lakukan, dan lihat”.
Satu persatu aku baca stat yang
tertera, aku juga melihat comment yang ada, baik dari orang lain sekaligus
comment yang dikirim kepada teman-temannya. Terakhir, jemariku beralih mengklik
“pesan”. Semua masih terihat normal, tidak ada hal yang rasanya mengganggu
hingga aku membaca nama “Nie Brown Smith”. Tadinya ku pikir, dia salah satu
teman laki-lakinya. Namun sesuatu terjadi, jemariku melakukan kesalahan karena
bergerak terlalu cepat sehingga memperlihatkan pesan-pesan sebelumnya. Mataku
tepat menangkap kata “yank”. Tunggu. Apa
tadi? “yank?”, batinku. Dengan rasa penasaran yang melangit bumi, aku baca
satu persatu pesan Zylan dengan Nie Brown Smith, yang ternyata adalah seorang
gadis, bukan laki-laki seperti dugaanku.
Mataku tidak berkedip sedikitpun
membaca pesan yang ada. Bagai belati tajam, pesan demi pesan itu mencabik-cabik
hatiku. Tidak gadis itu, tidak kekasihku, mereka sama-sama berbalasan penuh
perhatian, bahkan dibubuhi dengan kata-kata manja, yang setiap kata-katanya
menghancurkan hatiku. Tanya aku. Apa aku terluka??? Apa aku berhak untuk
terluka??? Demi apa semua itu harus kurasakan??? Dengan hati pedih tak tertahan
, aku paksakan untuk membaca semuanya, hatiku seakan berteriak histeris saat
kata-kata “yank” mereka gunakan. Saat kata-kata “yank” itu juga digunakan oleh
orang yang kukira paling mencintaiku, orang yang paling aku percaya, dan
ditujukan kepada gadis itu.
Susah payah ku telan ludahku.
Aku terpatung tidak bergerak di kursi lobi kampus. Hari itu ada kelas Anatomi
Fisiologi Manusia yang menantiku. Dr. Elsa bisa saja tidak akan memberiku izin
mengikuti perkuliahannya jika aku terlambat. Tapi saat itu kakiku mati rasa,
tak bisa digerakkan. Seakan aku lumpuh mendadak. Logikaku sibuk mengartikan
semua yang ada dihadapanku. Perkuliahan seperti apa yang bisa ku ikuti dengan
keadaan seperti itu. Dadaku juga sakit sekali. Ingin aku berlari, tapi
kemana??? Ingin aku teriak, tapi kemana perginya suaraku???? Dengan bodohnya
aku berdoa semoga semua yang kulihat hanya mimpi buruk yang tak akan mungkin
terjadi. Tapi jika semuanya hanya mimipi buruk, kenapa aku terjaga??? Kenapa
rasanya sakit sekali???? dan jika semuanya hanya mimpi kenapa pesan-pesan itu
terpampang nyata di depan mataku????
Saat itu aku ditampar oleh
kenyataan. Ditampar dengan kuat. Tamparan yang membekas. Sekalipun rasa sakitnya
hilang, bekas tamparan kenyataan yang aku terima tidak bisa hilang. Bermodalkan
kecintaan yang dikhianati, aku bangkit. Setumpuk rasa sakit yang menikam hatiku
perlahan membuatku sangat kuat. Teramat kuat hingga tak sedikitpun air mataku
tertumpah sebagai wujud luka satayan yang diperbuat Zylan padaku. Apa aku
hancur?? Jelas. Gadis mana yang tidak akan hancur jika orang yang paling dia
cintai dan mengaku paling mencintainya ternyata mampu memperlakukan gadis lain
begitu manis dan menggunakan kata “yank” sebagai panggilan untuk gadis itu.
Aku terus paksakan tubuhku untuk
bangkit dan tetap mengikuti perkuliahan. Tubuhku disana, di ruangan itu.
Sementara pikiranku sepenuhnya dikuasai oleh chattingan Zylan dan gadis itu.
Sejak saat itu kepercayaanku
hancur sehancurhancurnya. Tidak berbentuk sama sekali. Sejak saat itu juga aku
berhenti percaya pada laki-laki, termasuk Zylan. Tapi apakah rasa sayang yang
tertanam dihatiku mati???? Aku berharap besar itulah yang terjadi. Tetapi
tidak. Rasa itu tetap bertahan disana, dikepingan hatiku yang telah berserakan.
Zrrrtttt..zzzrrrrttttt. Getaran
ponsel yang sedari tadi masih dalam genggamanku, membuyarkan ingatan yang ingin
sekali aku lupakan. Ternyata message
dari Zylan.
“Sayaaaaang, lagi ngapaen kamu
disana??? Udah makan???” aku tersenyum membacanya. Begitulah Zylan, aku marah,
aku sedih, aku kesal sekalipun dia akan tetap memberikan perhatian seperti itu.
Andai saja hatiku tidak memilihnya dulu, andai saja rasa itu tidak berakar
terlalu kokoh di hatiku, mungkin hubunganku dengannya telah berakhir dan menjadi
lembaran usang. Satu kesalahan yang
telah aku lakukan adalah karena membiarkan hatiku menjadi lahan yang bagus
untuk rasa yang ditanamkan Zylan padaku. Sekarang terlambat bagiku untuk
menyesalinya. ***
10.00 PM. Aku telah berada di
kamar tidurku. Suara merdu dari Park Yuchun mengalun begitu merdunya, memecah
kesunyian. Begitu damai dan menenangkan. Membuatku merasa jatuh cinta. Karena
pada dasarnya, jatuh cinta itu sangatlah indah. Selain membuat orang yang
merasakannya menjadi lebih hidup, jatuh cinta juga berpengaruh terhadap proses
penuaan dan kesehatan mental, terutama kaum hawa. Dari sebuah artikel yang
pernah kubaca, disana dijelaskan bahwa jatuh cinta sangat baik bagi wanita. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan English Longitudinal Study of Ageing, didapatkan hasil bahwa para
wanita yang sedang menjalin hubungan asmara, akan memiliki kualitas diri yang
lebih tinggi dari biasanya. Aku juga baru tahu bahwasanya jatuh cinta akan
memberikan ketahanan jantung yang tiga kali lebih baik. Ini juga yang menjadi
salah satu alasanku untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang spesial,
disamping rasa sakit yang pernah kurasakan, lebih dari itu cinta membuatku
benar-benar bahagia.
Dengan senyum yang menghiasi wajah, kubuka lagi email-email yang kuterima. Hari ini aku
mendapatkan email dari Aizee,
seminggu yang lalu aku juga mendapatkan email
dari Aurel. Sekarang aku paham kenapa Aizee telat membalas email yang telah aku kirim padanya. Seperti
yang dikatakan Aurel, mengirimi email
secara terpisah memang menyusahkan. Karena kedua emaill telah aku terima, tak ada lagi alasan bagiku untuk menunda
membalas email dari mereka.
Bertemankan alunan terbaik, aku mulai mengetik kata demi kata, merangkainya
menjadi kalimat untuk menuangkan semua hal yang menari dipikiranku.
Membayangkan mereka ada dihadapanku dan bicara langsung kepada mereka.
23
Februari 2012
Dear gadis-gadis
hebat.
Senang sekali rasanya
benar-benar bisa berbalasan email secara nyata seperti ini. Dulunya aku kira
kita hanya bisa sekedar menghayalkannya saja, tapi sekarang semua benar-benar
menjadi kenyataan. Sepertinya aku harus berhati-hati mengenai apa yang hendak ku
hayalkan. Betapa indahnya jika sesuatu yang baik bisa menjadi nyata, tetapi
akan menjadi malapetaka jika yang buruk juga ikut-ikutan jadi kenyataan. Aku
harap, kalian bisa terus mengingatkanku akan hal yang satu ini.
Aurella, aku ingin sekali
berteriak histeris kepadamu. Kau ini gadis apa??? Kenapa kata-kata yang kau
keluarkan berdaya magnet seperti itu??? Aku ingin sekali memelukmu jika kau
semanis ini. Jangan salah paham padaku, karena hingga detik ini aku belum
pindah haluan menjadi lesbian.
Senyumku semakin melebar sembari melirik kembali email dari Aurella.
Gadis yang terkesan kaku seperti dia, sedikit
aneh jika berkata terlalu manis. Karena jarang sekali aku mendapatkan kata-kata
yang manis darinya. Selalu apa adanya dan terus terang. Adakalanya kata-kata
yang keluar dari mulutnya begitu pedas dan berbisa, tapi bukan berarti tidak
pernah menyentuh dan mengharukan. Dia seolah menjadi sosok pelengkap dalam
ketidaksempurnaan. Begitu rasional dan merupakan tempat terbaik disaat aku
membutuhkan solusi dari masalah yang kuhadapi.
Kau membuatku terharu pilu
nona. Aku mengenalmu bukan dalam jangka waktu singkat. Kebersamaan kita bukan
satu hari. Persahabatan yang kita jalin juga tidak sekedar kata. Sekalipun saat
itu kau memberikan perlakuan yang berbeda padaku, sekalipun kau diam saat
berhadapan denganku, sekalipun kau terus berlalu saat aku telah menatapmu, kau
tetap sahabatku dan aku tetap sahabatmu. Kau ini gila apa??? Kapan aku
menyalahkanmu??? Sedikitpun aku tidak menilai bahwa kau salah. Aku mengerti apa
yang kau rasakan saat itu. Aku tahu aku tidak serasional dirimu, tapi aku bisa
menilai dan melihat dengan baik situasi orang yang kuhadapi. Sikap yang saat
itu kau tunjukkan memberikan arti tersendiri padaku. Orang lain mungkin akan
memberikan respon yang berbeda padamu dan menyalahkanmu, tapi sekali lagi, aku
ini sahabatmu. Aku mengerti apa yang kau rasakan meskipun tak sesempurna yang
kau rasakan. Jadi jangan meminta maaf seperti itu padaku gadis bodoh. Kau
membuatku merasa tak enak hati.
Kerinduan mendalam menghujamku. Tiba-tiba aku sangat merindukan
kebersamaan bersama mereka. Aku ingat dengan baik indahnya persahabatan yang
terjalin antara aku dan gadis-gadis hebat itu. Aku ingat saat dimana aku tertawa
bersama dengan mereka, menangis bersama dan saling merangkul satu sama lainnya.
Sekali dua kali masalah diantara kami datang sebagai penguji persahabatan ini.
Tentu aku pernah kesal, pernah marah, tapi lebih dari itu aku sangat menyayangi
mereka.
Aku merasakan mereka sangat berarti bagiku saat aku merasa akan
kehilangan mereka. Begitu takut dan ingin sekali memastikan mereka baik-baik
saja. Gempa 30 September 2009. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu.
Aku, Aizee, Aurella, Diana dan Octa berada di kampus. Octa berada
di ruangan berbeda denganku, dia mengikuti rapat BPM. Saat itu dia menjabat
sebagai Wakil Sekretaris II Badan Eksekutif Mahasiswa di fakutas kami, MIPA.
Sementara aku dan yang lainnya berada di ruangan C18 mengikuti rapat salah satu
kegiatan rutin Biologi setiap tahunnya, Arteri. Dipertengahan rapat, Diana
meninggalkan ruangan. Diantara kami berlima, Diana yang paling cepat berpaling
ke kostan. Aku dan yang lainnya tidak mungkin menghalanginya.
Rapat kembali dilanjutkan. Beberapa orang ditunjuk untuk menduduki
bagian kepanitiaan dalam kegiatan Arteri 2009. Aku tidak merasakan firasat
apa-apa sebelum bencana itu datang.
Dengan goncangan yang begitu kuat, sesuatu yang tadinya menjadi
pijakanku tiba-tiba bergerak hebat. Gempa itu datang. Aku ketakutan separuh
mati rasanya. Semua orang berhamburan meninggalkan ruangan. Aku tidak tahu lagi
siapa yang ada di depanku, di belakangku bahkan di sampingku. Yang ku tahu
hanyalah semua orang berlarian, mereka berteriak ketakutan, saling mendahului
untuk menyelamatkan diri. Entah bagaimana caranya, akhirnya aku berhasil keluar
dari ruangan. Aku telah berada di depan lobi kampus bersama belasan atau
mungkin puluhan orang lainnya. Aku tidak ingat lagi berapa banyak orang saat
itu. Aku panik. Pikiran buruk datang menyelimutiku. Seolah-olah nyawaku akan diambil
hari itu juga.
Sedetik dua detik aku mendapati diriku masih bernafas. Aku masih
hidup. Masih dapat melihat dengan jelas semua orang yang tak kalah panik dan
takut sepertiku. Kemudian aku menyadari sesuatu. Aku sendiri. Aku tahu tadi aku
tidak sendiri, aku bersama mereka, sahabat-sahabatku. Tapi sekarang aku berdiri
sendiri tanpa satupun diantara mereka bersamaku. Penuh perasaan ketakutan aku
berteriak memanggil nama mereka. Berharap akan ada jawaban. Teramat berharap
sahabat-sahabatku akan menjawab panggilanku. Mataku melayang kesana-kemari,
tapi tak kutemukan mereka. Aku ingin menangis sejadi-jadinya mendapati diriku
tak menemukan satupun dari mereka.
Pencarianku terhenti saat seseorang datang menghamburkan dirinya
dalam pelukanku. Memelukku begitu erat. Dia sangat ketakutan. Bahkan aku lupa
seberapa takut aku sebenarnya ketika aku tiba-tiba merasakan ketakutan yang
lain memelukku. Dia gemetaran. Kemudian aku merasakan sesuatu membasahi bahuku.
Dia menangis. Menangis sangat keras . Keras sekali.
“Cherieeeee” aku tersentak. Aku mengenal suara itu, tangisan itu.
Semakin keras dia menyebut namaku semakin aku mengenalinya.
“Aizeeeee,,, yaaa Tuhan,, kau tidak apa-apa???” aku membalas
memeluknya dengan erat. Jangan ukur berapa kelegaanku saat itu. Ketakutanku seakan
meluap. Aku seperti memiliki sesuatu sebagai penguat dalam ketakutanku.
“Aizeeee, Aurella, mana dia?? dimana Aurel???” perlahan Aizee melepas
pelukannya, tapi dia tidak memberikan jawaban. Dia masih terlalu shock. Dengan
Aizee di sampingku, aku kembali berteriak menyerukan nama Aurel. Gadis itu
entah dimana. Aku tidak melihatnya. Aku mulai mengenali beberapa orang yang
tadinya terlihat sebagai orang asing bagiku.
“Aurelllaaaaaaa…..Aurellllllll…!!!!!!!’’’ berulang kali aku
berteriak. Hingga mataku menangkap seseorang yang tadinya duduk tepat
disebelahku saat rapat berlangsung berada kurang lebih lima meter dariku.
Suaraku tercekat melihatnya. Aku kaget dan kembali panik melihat Aurel berlari
ke arah ruangan yang dihindari semua orang. Aku tidak bisa lagi berpikir
jernih, gadis itu gila, bahkan sangat gila, dan gadis gila yang mulai
mengantarkan nyawanya dalam bahaya itu adalah sahabatku. Mana mungkin aku bisa
diam saja melihatnya masuk lagi ke dalam ruangan, sementara aku dan semua orang
berlarian meninggalkan ruangan itu. Tanpa pikir panjang, aku berteriak sekeras
yang bisa aku lakukan.
“Aurel, apa yang kau lakukan??? Aurellllll, kau kemana??? Aurellaaaaa,
menjauh dari tempat itu…!!! Aurelllllllll…!!!” air mataku tertumpah dibuatnya.
Gadis bodoh itu berlari cepat mendekati tempat itu. Aku tidak bisa berlari menariknya, karena
Aizee memegangiku dengan sangat kuat. Aku hanya bisa berharap dia sadar dan
berhenti menjadi bodoh seperti itu. Demi apa kau kesana???
Tidak lama setelah itu, dia berlari ke arahku. Mungkin dia mulai melihatku atau mendengar
teriakanku. Aku tidak peduli apa yang membawanya ke arahku. Yang penting dia
mulai mendekat. Saat tepat dihadapanku, aku menariknya.
“Apa yang kau lakukan disana??? Kau mau mati haaa????” dia hanya
diam. Kami saling berpegangan dan aku memelukku mereka. Memastikan semuanya
nyata. Sahabatku selamat. Dengan harapan hidup yang tinggi, kami bertiga
berlari menjauh dari kampus, karena kampus kami sangat dekat dengan pantai.
Kami berdoa disetiap helaan nafas, semoga semua ini tidak berakhir dengan
datangnya Tsunami.
Ditengah usaha penyelamatan diri, aku, Aizee, dan Aurel bertemu
dengan Octa. Meskipun begitu hati ini tetap diselimuti ketakutan yang tak
kunjung reda. Aku bahkan tidak tahu sedikitpun bagaimana keadaan keluargaku,
keadaan Diana, dan orang-orang yang sangat kucintai.
Sejak hari itu aku menyadari betapa penting dan berartinya mereka
bagiku. Terlepas dari hal buruk apapun yang pernah terjadi antara aku dan
mereka, mereka tetap menjadi sahabatku.
Dan untukkmu Aizee, dari dulu
hingga detik ini kau tetap menjadi gadis yang keseluruhan cerita hidupmu
bagaikan sinetron. Jika tidak bertemu denganmu, mungkin aku belum bisa percaya
sepenuhnya bahwa ada kisah hidup yang begitu berwarna seperti hidupmu.
Kau gadis beruntung teman. Dewi
fortuna seakan tak ingin pergi terlalu jauh darimu. Seburuk apapun situasi yang
kau hadapi, selalu kau temukan jalan terbaik untuk bangkit dari semua
kerterpurukanmu. Kau selalu bisa menjadi sosok baru yang jauh lebih hebat
setelah kau jatuh. Tak heran jika aku pernah iri dengan semangatmu.
Aku tidak tahu harus
mengeluarkan kata-kata apa mengetahui masalah hubunganmu dengan Kevin. Aku
pernah diposisimu dulunya. Sangat tidak mudah menjadi kuat atau setidaknya
terlihat kuat didepan semua orang. Tapi kau sahabatku, gadis hebat yang penuh
semangat dengan Dewi Fortuna yang senantiasa bersahabat denganmu. Aku percaya
kau bisa melewati semua perihal buruk ini. Ini bukan pertama buatmu bangkit
dari rasa sakit, duunya kau juga pernah mengalami hal seperti ini. Dulunya kau
bisa bangkit, maka tidak alasan kalau kali ini kau mengalah begitu saja melawan
kenyataan. Kau kuat Aizee, dan aku tahu kau mengetahui itu. Mimpi yang ada di
depanmu, masa depanmu, hidupmu dan semua yang hari ini kau dapatkan terlalu
berharga untuk kau hancurkan hanya karena rasa sakitmu.
Beberapa orang yang kau
ceritakan dalam emailmu sangat menarik. Kau memang gadis yang
tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Aku hanya berharap kau bahagia menjalani apapun
yang akan menjadi keputusanmu. Yang terpenting, dahulukan yang patut kau
dahulukan. Kejar yang perlu kau kejar, dan dapatkan apa yang menurutmu patut
dan pantas kau dapatkan.
Apapun yang terjadi padamu
Aizee, Aurel, kita tetaplah sahabat. Jika masalah yang kau hadapi sudah tak
kuasa disimpan sendiri, jangan pernah lupakan aku. Kita bersama untuk berbagi.
Bukankah impian kita terlalu indah??? Mari kita wujudkan semuanya menjadi
nyata. Apapun yang terjadi nantinya sepenuhnya milik Tuhan, yang penting kita
harus tetap berusaha.
Sebentar lagi aku akan wisuda.
Aku tidak berharap banyak kalian akan hadir di hari pentingku. Setidaknya, aku
tahu, kalian akan selalu ada untuk mendukungku dan akan bahagia dengan
kebahagiaanku. Mengetahui itu saja aku sudah sangat bahagia.
Jemariku berhenti menari. Aku termenung sesaat. Yah. Tidak lama
lagi. Beberapa hari lagi hari kelulusanku akan tiba. 3 Maret 2012. Di hari itu
jubah kebesaran beserta toga akan kugunakan dan secara resmi kelulusan ku raih.
Terselip kesedihan dalam bahagiaku. Bahagia, karena perjuanganku melewati
gerbang pertama telah selesai. Satu tanggung jawabku untuk membahagiakan kedua
orangtua telah berhasil kulakukan. Dilain sisi, aku merasa sedih. Sedih karena
di hari pentingku, mereka yang menempati tempat spesial dan menjadi teman
terbaikku dalam menjalani hari-hari selama berada di kampus hanya
berkemungkinan kecil bisa menghadirinya. Aizee tengah berada di Bandung,
melanjutkan pendidikan S2, Octa juga telah memberitahuku beberapa minggu
belakangan bahwasanya dia kemungkinan besar tidak bisa hadir. Sementara Aurel
akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Hanya Diana yang berkemungkinan
datang. Entahlah. Tidak seharusnya aku banyak berharap dan memaksakan semua berjalan
seperti yang aku inginkan. Tapi sulit memungkiri keinginan yang terselip ini.
Hah. Egoisnya aku.
Aku berusaha menepis hasratku. Aku tidak boleh berlarut-larut akan
pengharapan. Sembari menyeruput susu cokelat yang terlalu lama ku abaikan
karena terlena akan alunan musik dan email,
ku pandangi foto yang terpajang di meja kecil yang terdapat di pojok kamarku.
Gurat kebahagiaan dan keceriaan terpancar nyata di raut wajah
sahabat-sahabatku. Foto itu diambil pada tahun pertama aku bergabung dengan
Biologi UNP. Tadinya aku sempat berkeinginan untuk pindah jurusan setelah satu
tahun di Biologi, karena jurusan yang sebenarnya aku idam-idamkan adalah
Psikologi. Tapi karena indahnya
persahabatan, perlahan aku menyukai hari-hariku selama di Biologi, lebih
tepatnya mereka memperindah perjalanan hidupku di kampus. Sesulit apapun
keadaan dan seberapa membosankannya perkuliahan, jika bersama mereka aku tetap bisa
tersenyum dan melewatinya.
Selesai menandaskan susu cokelat yang tidak lagi hangat, aku
kembali menggerakkan jemariku di atas keyboard,
merangkai kata yang ingin ku sampaikan kepada kedua gadis itu.
Kabar terakhir yang aku
dapatkan, kau akan pergi liburan kan Aurel??? kalau tidak salah akhir bulan
Februari ini. Iya kan…??? Kemana kau liburan?? Aku lupa, hehehehe.
Suatu hari nanti aku juga ingin
seperti kalian berdua. Aku juga ingin keluar dari kota Padang ini. Pergi ke
tempat yang baru dan menemui orang-orang yang baru. Aku ingin sekali mewujudkan
semua itu.
Mengenai hubunganku dengan
Zylan, sejauh ini hubunganku dengannya baik-baik saja. Terakhir aku cerita
padamu Aurel, hubunganku berada dalam fase kejenuhan tingkat tinggi.
Ketidaktahuanku mengenai Zylan dan seperti apa Zylan sebenarnya, seperti apa
dunianya dan teman-temannya hadir bagai bomerang yang menggrogoti rasaku
padanya. Tapi sekarang semuanya sudah mulai bisa ku atasi.
Banyak hal dari dirinya yang
sebenarnya kurang ku sukai, dunianya, teman-temannya, dan sikapnya. Tapi semua
harus bisa ku terima, aku tidak mungkin memintanya bertopeng untuk menjadi
seseorang yang ku inginkan. Aku tidak ingin mencintai seseorang atas dasar aku
yang membuat kepribadiannya, tapi aku ingin mencintai seseorang karena
kepribadian yang dia miliki memang miliknya sendiri.
Perlahan aku dituntut dewasa
oleh keadaan dan waktu. Aku terlalu egois selama ini. Semua hal berlaku sesuai dengan
apa yang ku inginkan. Sedikit saja tidak sesuai dengan yang kuharapkan, aku langsung
berlaku buruk padanya. Mungkin ini saatnya aku menyerahkannya kembali ke
dunianya, ke kehidupannya, ke teman-temannya. Ini saatnya bagi Zylan untuk
kembali meraih jati dirinya yang telah sempat ku renggut dan ku ganti sesuai
dengan keinginanku. Sekaligus aku belajar menjadi orang yang benar-benar mencintainya.
Jodoh di tangan Tuhan, aku
tidak bisa memaksakan apapun di dunia ini. Sekalipun aku ingin semua berjalan
sesuai dengan mauku. Kali ini aku akan berusaha dengan cara yang berbeda. Aku
berusaha mengenali dia dengan cara seperti ini.
Aku juga tidak terlalu sering
lagi bertemu dengannya. Komunikasi kami cukup lancar, meskipun sesekali terasa
sangat kurang atau mungkin aku yang sengaja menguranginya. Aku ingin waktu
menuntunku menata semuanya dengan sempurna. Aku dan dia sama-sama menginginkan
kebahagiaan. Jadi tak adil rasanya jika aku mengambil sebagian kebahagiaannya
demi memenuhi kebahagiaanku semata.
Ohhh yaaa, aku juga sudah jujur
kepada Ibu mengenai hubunganku dengan Zylan. Di luar dugaan aku sanggup
melakukannya. Bahkan aku serasa bermimpi saat mengetahui Ibu tak marah
mengetahui semuanya. Aku juga telah menjelaskan kepada Ibu alasanku
menyembunyikan hubunganku selama ini. Pertama, karena aku masih kuliah. Kedua,
karna dulunya Zylan belum dapat kerja.
Sekarang tidak ada alasan lagi
bagiku menunda untuk jujur kepada Ibu. Zylan juga sudah bekerja di bagian
Finance. Setidaknya ini awal baginya untuk melangkah maju. Setelah aku resmi
memakai toga nantinya, Zylan akan kupertemukan langsung dengan Ibu dan Ayah.
Aku tidak tahu kemana arah
kapal membawaku. Aku hanya berharap memiliki nahkoda yang bisa kuandalkan, yang
bisa membawaku ke pelabuhan terindah nantinya.
Aku menyayangi kalian. Dimanapun,
dan bagaimanapun keadaanku, aku ingin kalian tahu, aku masih dan akan selalu
mengingat kalian.
Salam hangat dan pelukan
untukmu gadis-gadis hebat…
Aku tunggu balasan dari kalian…
Aku mereggangkan otot-ototku yang mulai terasa kaku karena terlalu
lama mengetik.
“Yah, akhirnya selesai” aku tersenyum puas menatap layar
komputerku. “Hah, mataku mulai perih, saatnya tidur”. Aku beranjak meninggalkan
komputer, setelah mematikannya terlebih dahulu. Penunjuk waktu telah mencapai
angka 12.05 Am. Telah tiba waktunya bagiku untuk segera memeluk guling
kesayangan dan bergelut dengan selimut lusuh yang begitu nyaman.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar