Powered By Blogger

GLamee Story of Aizee


Kamis, 23 Februari 2012

Pre Novel (E5 Merlin)

-->
Thursday

Aku tersenyum saat terjaga dari tidurku yang nyenyak. Dulunya, semua hari sama artinya bagiku. Namun, kedatangan email pertama dari sahabatku seolah merubah sesuatu. Aku mulai menyukai Thursday. Menantikan kedatangannya dengan harapan yang membubung tinggi. Bagaimana tidak, setelah sekian lama komunikasi yang terjalin dengan gadis-gadis yang telah menjadi sahabatku itu mengalami gangguan, dengan baiknya Tuhan mempertemukan kami lagi dengan cara seperti ini. Sekalipun aku harus berdamai dengan diriku yang sangat tidak sabaran mengenai apapun, tapi disini aku dipaksa sabar. Sabar menanti waktu mengantarkanku ke hari yang mulai menempati tempat spesial dalam hidupku.
Aku bangkit dari tempat tidurku dengan semangat yang menyala. Tugas rumah yang menggunung dan wajib ku selesaikan secepat mungkin ternyata tak membuat semangatku surut. Aku lelah, tentu saja. Tapi semua merupakan tugasku. Liburan di rumah tak ubahnya training menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang tentu akan sangat membantu nantinya di saat aku menyandang status itu.
Dua minggu sudah aku di rumah. Tidak pergi kemana-mana. Alih-alih liburan ke luar kota seperti kebanyakan orang diluar sana yang bisa mengisi liburan mereka dengan sesuatu yang baru, sekedar jalan-jalan sore pun aku tidak. Apa ada yang tidak beres denganku? Tentu tidak. Aku adalah gadis yang sangat mencintai diriku, mencintai segala keinginan dan sejuta impian yang aku punya. Tapi keluarga, orang tua dan kehidupan yang sekarang aku jalani memberikan batas tertentu kepadaku. Aku tidak mengutuk apa yang saat ini aku terima, aku mensyukurinya, sangat mensyukurinya. Aku dianugerahi keluarga yang sangat mengedepankan kebersamaan. Tapi sesekali hasrat dan keinginanku bisa kesana kemari, ke tempat itu, mengunjungi ini, mengunjungi itu menyayangkan batasan itu.
Di usiaku yang bukan gadis belasan lagi, aku sudah cukup dewasa untuk memahami semuanya. Memahami didikan orang tuaku yang tak bisa ku pungkiri, konvensional. Aku telah terbiasa menerimanya. Dari sekian banyak hal yang tidak bisa kulakukan dulunya, perlahan bisa kulakukan sekarang. Meskipun sedikit terlambat dari kawanan seusiaku.
Aku mulai menyadari sesuatu, didikan seperti ini mungkin jalan terbaik untuk mendidik gadis sepertiku, dengan sejuta impian dan keinginan yang terlalu gila bagi kebanyakan orang. Sifat keras dan egois mematikan yang bersarang di diriku mungkin juga menjadi alasan kuat yang terlihat oleh kedua orangtuaku, terutama Ibu, sehingga beliau bersekukuh mendidikku dengan peraturan ini itu. Aku ingat kata-katanya yang selalu berhasil membungkam kata-kataku saat berniat membela diri “seorang Ibu tahu yang terbaik untuk anaknya”. Aku kesal saat itu. Masa remaja yang begitu indah menjadi begitu membosankan saat terikat dengan berbagai peraturan yang tak ku inginkan. Aku iri melihat orang-orang disekelilingku yang bisa bebas dengan keinginan mereka. Kebahagiaan yang mereka perihatkan seperti ejekan yang secara tidak langsung ditujukan padaku.
Aku tersenyum berselubung penyesalan mengingat semua pikiran picik yang pernah aku miliki dulunya. Ibuku tidak salah, hanya caranya mendidikku sedikit berlebihan. Sekarang aku tahu, didikan keras dan penuh batasan yang aku terima, ternyata benteng kokoh yang berhasil menyelamatkanku dari perkembangan zaman yang bagai air bah, siap menyeret siapapun jika lengah sedikit saja.
Inilah aku sekarang. Gadis yang kadang dikasihani orang, kadang dijadikan bahan omongan tetangga karena terlalu jadi anak rumahan, dan Alhamdulillah, sebanyak mereka menjadikanku sasaran gunjingan, sebanyak itu pula akhirnya aku mendapatkan pujian secara tidak langsung. Ibuku hebat. Aku terhindar dari dunia malam yang telah menjadi tren muda mudi sekarang. Aku selamat dari pergaulan menyesatkan yang tak sekali datang menggodaku untuk mencoba ini itu bersama mereka yang mengaku temanku. Semua berkat peraturan ini itu dan batasan yang ku kategorikan menyebalkan dan tidak berperasaan dari sang Ibu.
***


Aku telah berada di ruang tengah, menonton drama korea “The Thorn Bird” yang begitu ku suka, tugas rumah selesai, dan tubuhku juga telah kembali bersih dan segar. Disela-sela tontonan, tanganku meraih ponsel kesayangan yang telah berumur empat tahun lebih, yang menjadi saksi perjuanganku dalam hal pendidikan dan cinta. Aku begitu mencintai ponselku ini. Kehilangannya sama saja kehilangan hal penting dalam hidupku.
Seraya mengikuti alur cerita dari drama yang ku tonton, aku juga memanfaatkan pelayanan hemat yang ditawarkan pihak telkomsel kepada pelanggannya. 0.facebook.com. Sekalian melepas rindu dengan dunia maya tanpa menghabiskan banyak pulsa. Berpandai-pandai itu perlu. Lagi pula aku bisa mengetahui banyak hal dari mereka yang ku kenal tanpa bertanya kepada mereka. Karena dengan sendirinya mereka akan memuatnya di stat mereka. Dalam hal ini teknologi membantuku semakin mengenali karakter mereka tanpa bertatap muka. Perkembangan zaman melahirkan buku-buku terbuka untuk semua kalangan usia. Tentu ada positif dan negatifnya. Semua kembali kepada kepribadian masing-masing orang. Namun jika tidak berhati-hati, perkembangan teknologi bisa menjelma menjadi sesuatu yang sangat berbahaya.
Aku teringat masalah yang pernah aku temui karena facebook. Lebih tepatnya facebook berhasil menghancurkan kepercayaanku terhadap seseorang yang sangat kupercaya, orang yang menempati tempat spesial di hatiku, Zylan. Sebagai seorang kekasih, aku termasuk golongan yang teramat enggan menunjukkan kecintaan yang berlebihan. Aku terbiasa cuek, dan bersikap apa adanya. Aku percaya sesuatu yang berlebihan hanya akan jadi perusak.
Setelah empat tahun lebih menutup diri dari laki-laki, aku beranikan untuk menjalani hubungan dengan Zylan. Hubungan ini berawal dari persahabatan yang begitu indah. Kemana aku pergi, bagaimana keadaanku, dia seakan menjadi orang pertama yang tahu segalanya. Bahkan saat aku terpuruk dan menjadi gadis bodoh yang menangis tersedu-sedu tanpa bicara sedikit pun, dia tetap setia berada di sampingku. Dia duduk di sampingku hanya untuk menjadi penonton terbaik yang begitu mengerti bahwa aku benci dihadiahkan pertanyaan saat kesedihan menyelimutiku. Jika diingat lagi, mustahil rasanya aku akan kecewa dan terluka karena dia.
Perlahan perasaan yang berbeda menghampiri persahabatan antara aku dan dia. Semua terasa semakin istimewa dan cinta hadir diantara kami. Setiap hari perlakuan yang dia berikan penuh dengan kasih sayang. Aku dibuai setiap saat. Dunia seakan jadi saksi kecintaannya padaku. Hatiku yang dulunya bagaikan batu, hancur menjadi pasir saat merasakan setiap kasih sayang yang dia curahkan. Aku terlena, hanyut akan kebahagiaan, tanpa menyadari sesuatu yang buruk mulai menimpaku.
Hingga suatu hari, kenyataan pahit kudapatkan. Entah apa yang membisikkan padaku, sehingga aku membuka facebooknya tanpa sepengetahuannya. Aku mengetahui email dan passwordnya. Seumur-umur, aku belum pernah selancang itu, aku tidak pernah mengusik privasi seseorang, terutama orang yang begitu ku percaya. Bagiku, kepercayaan adalah tiang terkokoh dalam menjalani sebuah hubungan. Apa guna dan artinya sebuah hubungan tanpa kepercayaan di dalamnya. Tapi sekali lagi, aku tidak tahu kenapa aku sanggup melakukan semuanya, yang terlintas dibenakku hanya “lakukan, dan lihat”.
Satu persatu aku baca stat yang tertera, aku juga melihat comment yang ada, baik dari orang lain sekaligus comment yang dikirim kepada teman-temannya. Terakhir, jemariku beralih mengklik “pesan”. Semua masih terihat normal, tidak ada hal yang rasanya mengganggu hingga aku membaca nama “Nie Brown Smith”. Tadinya ku pikir, dia salah satu teman laki-lakinya. Namun sesuatu terjadi, jemariku melakukan kesalahan karena bergerak terlalu cepat sehingga memperlihatkan pesan-pesan sebelumnya. Mataku tepat menangkap kata “yank”. Tunggu. Apa tadi? “yank?”, batinku. Dengan rasa penasaran yang melangit bumi, aku baca satu persatu pesan Zylan dengan Nie Brown Smith, yang ternyata adalah seorang gadis, bukan laki-laki seperti dugaanku.
Mataku tidak berkedip sedikitpun membaca pesan yang ada. Bagai belati tajam, pesan demi pesan itu mencabik-cabik hatiku. Tidak gadis itu, tidak kekasihku, mereka sama-sama berbalasan penuh perhatian, bahkan dibubuhi dengan kata-kata manja, yang setiap kata-katanya menghancurkan hatiku. Tanya aku. Apa aku terluka??? Apa aku berhak untuk terluka??? Demi apa semua itu harus kurasakan??? Dengan hati pedih tak tertahan , aku paksakan untuk membaca semuanya, hatiku seakan berteriak histeris saat kata-kata “yank” mereka gunakan. Saat kata-kata “yank” itu juga digunakan oleh orang yang kukira paling mencintaiku, orang yang paling aku percaya, dan ditujukan kepada gadis itu.
Susah payah ku telan ludahku. Aku terpatung tidak bergerak di kursi lobi kampus. Hari itu ada kelas Anatomi Fisiologi Manusia yang menantiku. Dr. Elsa bisa saja tidak akan memberiku izin mengikuti perkuliahannya jika aku terlambat. Tapi saat itu kakiku mati rasa, tak bisa digerakkan. Seakan aku lumpuh mendadak. Logikaku sibuk mengartikan semua yang ada dihadapanku. Perkuliahan seperti apa yang bisa ku ikuti dengan keadaan seperti itu. Dadaku juga sakit sekali. Ingin aku berlari, tapi kemana??? Ingin aku teriak, tapi kemana perginya suaraku???? Dengan bodohnya aku berdoa semoga semua yang kulihat hanya mimpi buruk yang tak akan mungkin terjadi. Tapi jika semuanya hanya mimipi buruk, kenapa aku terjaga??? Kenapa rasanya sakit sekali???? dan jika semuanya hanya mimpi kenapa pesan-pesan itu terpampang nyata di depan mataku????
Saat itu aku ditampar oleh kenyataan. Ditampar dengan kuat. Tamparan yang membekas. Sekalipun rasa sakitnya hilang, bekas tamparan kenyataan yang aku terima tidak bisa hilang. Bermodalkan kecintaan yang dikhianati, aku bangkit. Setumpuk rasa sakit yang menikam hatiku perlahan membuatku sangat kuat. Teramat kuat hingga tak sedikitpun air mataku tertumpah sebagai wujud luka satayan yang diperbuat Zylan padaku. Apa aku hancur?? Jelas. Gadis mana yang tidak akan hancur jika orang yang paling dia cintai dan mengaku paling mencintainya ternyata mampu memperlakukan gadis lain begitu manis dan menggunakan kata “yank” sebagai panggilan untuk gadis itu.
Aku terus paksakan tubuhku untuk bangkit dan tetap mengikuti perkuliahan. Tubuhku disana, di ruangan itu. Sementara pikiranku sepenuhnya dikuasai oleh chattingan Zylan dan gadis itu.
Sejak saat itu kepercayaanku hancur sehancurhancurnya. Tidak berbentuk sama sekali. Sejak saat itu juga aku berhenti percaya pada laki-laki, termasuk Zylan. Tapi apakah rasa sayang yang tertanam dihatiku mati???? Aku berharap besar itulah yang terjadi. Tetapi tidak. Rasa itu tetap bertahan disana, dikepingan hatiku yang telah berserakan.
Zrrrtttt..zzzrrrrttttt. Getaran ponsel yang sedari tadi masih dalam genggamanku, membuyarkan ingatan yang ingin sekali aku lupakan. Ternyata message dari Zylan.
“Sayaaaaang, lagi ngapaen kamu disana??? Udah makan???” aku tersenyum membacanya. Begitulah Zylan, aku marah, aku sedih, aku kesal sekalipun dia akan tetap memberikan perhatian seperti itu. Andai saja hatiku tidak memilihnya dulu, andai saja rasa itu tidak berakar terlalu kokoh di hatiku, mungkin hubunganku dengannya telah berakhir dan menjadi lembaran usang.  Satu kesalahan yang telah aku lakukan adalah karena membiarkan hatiku menjadi lahan yang bagus untuk rasa yang ditanamkan Zylan padaku. Sekarang terlambat bagiku untuk menyesalinya. ***

10.00 PM. Aku telah berada di kamar tidurku. Suara merdu dari Park Yuchun mengalun begitu merdunya, memecah kesunyian. Begitu damai dan menenangkan. Membuatku merasa jatuh cinta. Karena pada dasarnya, jatuh cinta itu sangatlah indah. Selain membuat orang yang merasakannya menjadi lebih hidup, jatuh cinta juga berpengaruh terhadap proses penuaan dan kesehatan mental, terutama kaum hawa. Dari sebuah artikel yang pernah kubaca, disana dijelaskan bahwa jatuh cinta sangat baik bagi wanita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan English Longitudinal Study of Ageing, didapatkan hasil bahwa para wanita yang sedang menjalin hubungan asmara, akan memiliki kualitas diri yang lebih tinggi dari biasanya. Aku juga baru tahu bahwasanya jatuh cinta akan memberikan ketahanan jantung yang tiga kali lebih baik. Ini juga yang menjadi salah satu alasanku untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang spesial, disamping rasa sakit yang pernah kurasakan, lebih dari itu cinta membuatku benar-benar bahagia.
Dengan senyum yang menghiasi wajah, kubuka lagi email-email yang kuterima. Hari ini aku mendapatkan email dari Aizee, seminggu yang lalu aku juga mendapatkan email dari Aurel. Sekarang aku paham kenapa Aizee telat membalas email yang telah aku kirim padanya. Seperti yang dikatakan Aurel, mengirimi email secara terpisah memang menyusahkan. Karena kedua emaill telah aku terima, tak ada lagi alasan bagiku untuk menunda membalas email dari mereka.
Bertemankan alunan terbaik, aku mulai mengetik kata demi kata, merangkainya menjadi kalimat untuk menuangkan semua hal yang menari dipikiranku. Membayangkan mereka ada dihadapanku dan bicara langsung kepada mereka.

23 Februari 2012
Dear gadis-gadis hebat.

Senang sekali rasanya benar-benar bisa berbalasan email secara nyata seperti ini. Dulunya aku kira kita hanya bisa sekedar menghayalkannya saja, tapi sekarang semua benar-benar menjadi kenyataan. Sepertinya aku harus berhati-hati mengenai apa yang hendak ku hayalkan. Betapa indahnya jika sesuatu yang baik bisa menjadi nyata, tetapi akan menjadi malapetaka jika yang buruk juga ikut-ikutan jadi kenyataan. Aku harap, kalian bisa terus mengingatkanku akan hal yang satu ini.
Aurella, aku ingin sekali berteriak histeris kepadamu. Kau ini gadis apa??? Kenapa kata-kata yang kau keluarkan berdaya magnet seperti itu??? Aku ingin sekali memelukmu jika kau semanis ini. Jangan salah paham padaku, karena hingga detik ini aku belum pindah haluan menjadi lesbian.
Senyumku semakin melebar sembari melirik kembali email dari Aurella. Gadis yang terkesan kaku seperti dia,  sedikit aneh jika berkata terlalu manis. Karena jarang sekali aku mendapatkan kata-kata yang manis darinya. Selalu apa adanya dan terus terang. Adakalanya kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu pedas dan berbisa, tapi bukan berarti tidak pernah menyentuh dan mengharukan. Dia seolah menjadi sosok pelengkap dalam ketidaksempurnaan. Begitu rasional dan merupakan tempat terbaik disaat aku membutuhkan solusi dari masalah yang kuhadapi.
Kau membuatku terharu pilu nona. Aku mengenalmu bukan dalam jangka waktu singkat. Kebersamaan kita bukan satu hari. Persahabatan yang kita jalin juga tidak sekedar kata. Sekalipun saat itu kau memberikan perlakuan yang berbeda padaku, sekalipun kau diam saat berhadapan denganku, sekalipun kau terus berlalu saat aku telah menatapmu, kau tetap sahabatku dan aku tetap sahabatmu. Kau ini gila apa??? Kapan aku menyalahkanmu??? Sedikitpun aku tidak menilai bahwa kau salah. Aku mengerti apa yang kau rasakan saat itu. Aku tahu aku tidak serasional dirimu, tapi aku bisa menilai dan melihat dengan baik situasi orang yang kuhadapi. Sikap yang saat itu kau tunjukkan memberikan arti tersendiri padaku. Orang lain mungkin akan memberikan respon yang berbeda padamu dan menyalahkanmu, tapi sekali lagi, aku ini sahabatmu. Aku mengerti apa yang kau rasakan meskipun tak sesempurna yang kau rasakan. Jadi jangan meminta maaf seperti itu padaku gadis bodoh. Kau membuatku merasa tak enak hati.
Kerinduan mendalam menghujamku. Tiba-tiba aku sangat merindukan kebersamaan bersama mereka. Aku ingat dengan baik indahnya persahabatan yang terjalin antara aku dan gadis-gadis hebat itu. Aku ingat saat dimana aku tertawa bersama dengan mereka, menangis bersama dan saling merangkul satu sama lainnya. Sekali dua kali masalah diantara kami datang sebagai penguji persahabatan ini. Tentu aku pernah kesal, pernah marah, tapi lebih dari itu aku sangat menyayangi mereka.
Aku merasakan mereka sangat berarti bagiku saat aku merasa akan kehilangan mereka. Begitu takut dan ingin sekali memastikan mereka baik-baik saja. Gempa 30 September 2009. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu.
Aku, Aizee, Aurella, Diana dan Octa berada di kampus. Octa berada di ruangan berbeda denganku, dia mengikuti rapat BPM. Saat itu dia menjabat sebagai Wakil Sekretaris II Badan Eksekutif Mahasiswa di fakutas kami, MIPA. Sementara aku dan yang lainnya berada di ruangan C18 mengikuti rapat salah satu kegiatan rutin Biologi setiap tahunnya, Arteri. Dipertengahan rapat, Diana meninggalkan ruangan. Diantara kami berlima, Diana yang paling cepat berpaling ke kostan. Aku dan yang lainnya tidak mungkin menghalanginya.
Rapat kembali dilanjutkan. Beberapa orang ditunjuk untuk menduduki bagian kepanitiaan dalam kegiatan Arteri 2009. Aku tidak merasakan firasat apa-apa sebelum bencana itu datang.
Dengan goncangan yang begitu kuat, sesuatu yang tadinya menjadi pijakanku tiba-tiba bergerak hebat. Gempa itu datang. Aku ketakutan separuh mati rasanya. Semua orang berhamburan meninggalkan ruangan. Aku tidak tahu lagi siapa yang ada di depanku, di belakangku bahkan di sampingku. Yang ku tahu hanyalah semua orang berlarian, mereka berteriak ketakutan, saling mendahului untuk menyelamatkan diri. Entah bagaimana caranya, akhirnya aku berhasil keluar dari ruangan. Aku telah berada di depan lobi kampus bersama belasan atau mungkin puluhan orang lainnya. Aku tidak ingat lagi berapa banyak orang saat itu. Aku panik. Pikiran buruk datang menyelimutiku. Seolah-olah nyawaku akan diambil hari itu juga.
Sedetik dua detik aku mendapati diriku masih bernafas. Aku masih hidup. Masih dapat melihat dengan jelas semua orang yang tak kalah panik dan takut sepertiku. Kemudian aku menyadari sesuatu. Aku sendiri. Aku tahu tadi aku tidak sendiri, aku bersama mereka, sahabat-sahabatku. Tapi sekarang aku berdiri sendiri tanpa satupun diantara mereka bersamaku. Penuh perasaan ketakutan aku berteriak memanggil nama mereka. Berharap akan ada jawaban. Teramat berharap sahabat-sahabatku akan menjawab panggilanku. Mataku melayang kesana-kemari, tapi tak kutemukan mereka. Aku ingin menangis sejadi-jadinya mendapati diriku tak menemukan satupun dari mereka.
Pencarianku terhenti saat seseorang datang menghamburkan dirinya dalam pelukanku. Memelukku begitu erat. Dia sangat ketakutan. Bahkan aku lupa seberapa takut aku sebenarnya ketika aku tiba-tiba merasakan ketakutan yang lain memelukku. Dia gemetaran. Kemudian aku merasakan sesuatu membasahi bahuku. Dia menangis. Menangis sangat keras . Keras sekali.
“Cherieeeee” aku tersentak. Aku mengenal suara itu, tangisan itu. Semakin keras dia menyebut namaku semakin aku mengenalinya.
“Aizeeeee,,, yaaa Tuhan,, kau tidak apa-apa???” aku membalas memeluknya dengan erat. Jangan ukur berapa kelegaanku saat itu. Ketakutanku seakan meluap. Aku seperti memiliki sesuatu sebagai penguat dalam ketakutanku.
“Aizeeee, Aurella, mana dia?? dimana Aurel???” perlahan Aizee melepas pelukannya, tapi dia tidak memberikan jawaban. Dia masih terlalu shock. Dengan Aizee di sampingku, aku kembali berteriak menyerukan nama Aurel. Gadis itu entah dimana. Aku tidak melihatnya. Aku mulai mengenali beberapa orang yang tadinya terlihat sebagai orang asing bagiku.
“Aurelllaaaaaaa…..Aurellllllll…!!!!!!!’’’ berulang kali aku berteriak. Hingga mataku menangkap seseorang yang tadinya duduk tepat disebelahku saat rapat berlangsung berada kurang lebih lima meter dariku. Suaraku tercekat melihatnya. Aku kaget dan kembali panik melihat Aurel berlari ke arah ruangan yang dihindari semua orang. Aku tidak bisa lagi berpikir jernih, gadis itu gila, bahkan sangat gila, dan gadis gila yang mulai mengantarkan nyawanya dalam bahaya itu adalah sahabatku. Mana mungkin aku bisa diam saja melihatnya masuk lagi ke dalam ruangan, sementara aku dan semua orang berlarian meninggalkan ruangan itu. Tanpa pikir panjang, aku berteriak sekeras yang bisa aku lakukan.
“Aurel, apa yang kau lakukan??? Aurellllll, kau kemana??? Aurellaaaaa, menjauh dari tempat itu…!!! Aurelllllllll…!!!” air mataku tertumpah dibuatnya. Gadis bodoh itu berlari cepat mendekati tempat itu.  Aku tidak bisa berlari menariknya, karena Aizee memegangiku dengan sangat kuat. Aku hanya bisa berharap dia sadar dan berhenti menjadi bodoh seperti itu. Demi apa kau kesana???
Tidak lama setelah itu, dia berlari ke arahku.  Mungkin dia mulai melihatku atau mendengar teriakanku. Aku tidak peduli apa yang membawanya ke arahku. Yang penting dia mulai mendekat. Saat tepat dihadapanku, aku menariknya.
“Apa yang kau lakukan disana??? Kau mau mati haaa????” dia hanya diam. Kami saling berpegangan dan aku memelukku mereka. Memastikan semuanya nyata. Sahabatku selamat. Dengan harapan hidup yang tinggi, kami bertiga berlari menjauh dari kampus, karena kampus kami sangat dekat dengan pantai. Kami berdoa disetiap helaan nafas, semoga semua ini tidak berakhir dengan datangnya Tsunami.
Ditengah usaha penyelamatan diri, aku, Aizee, dan Aurel bertemu dengan Octa. Meskipun begitu hati ini tetap diselimuti ketakutan yang tak kunjung reda. Aku bahkan tidak tahu sedikitpun bagaimana keadaan keluargaku, keadaan Diana, dan orang-orang yang sangat kucintai.
Sejak hari itu aku menyadari betapa penting dan berartinya mereka bagiku. Terlepas dari hal buruk apapun yang pernah terjadi antara aku dan mereka, mereka tetap menjadi sahabatku.
Dan untukkmu Aizee, dari dulu hingga detik ini kau tetap menjadi gadis yang keseluruhan cerita hidupmu bagaikan sinetron. Jika tidak bertemu denganmu, mungkin aku belum bisa percaya sepenuhnya bahwa ada kisah hidup yang begitu berwarna seperti hidupmu.
Kau gadis beruntung teman. Dewi fortuna seakan tak ingin pergi terlalu jauh darimu. Seburuk apapun situasi yang kau hadapi, selalu kau temukan jalan terbaik untuk bangkit dari semua kerterpurukanmu. Kau selalu bisa menjadi sosok baru yang jauh lebih hebat setelah kau jatuh. Tak heran jika aku pernah iri dengan semangatmu.
Aku tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata apa mengetahui masalah hubunganmu dengan Kevin. Aku pernah diposisimu dulunya. Sangat tidak mudah menjadi kuat atau setidaknya terlihat kuat didepan semua orang. Tapi kau sahabatku, gadis hebat yang penuh semangat dengan Dewi Fortuna yang senantiasa bersahabat denganmu. Aku percaya kau bisa melewati semua perihal buruk ini. Ini bukan pertama buatmu bangkit dari rasa sakit, duunya kau juga pernah mengalami hal seperti ini. Dulunya kau bisa bangkit, maka tidak alasan kalau kali ini kau mengalah begitu saja melawan kenyataan. Kau kuat Aizee, dan aku tahu kau mengetahui itu. Mimpi yang ada di depanmu, masa depanmu, hidupmu dan semua yang hari ini kau dapatkan terlalu berharga untuk kau hancurkan hanya karena rasa sakitmu.
Beberapa orang yang kau ceritakan dalam emailmu sangat menarik. Kau memang gadis yang tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Aku hanya berharap kau bahagia menjalani apapun yang akan menjadi keputusanmu. Yang terpenting, dahulukan yang patut kau dahulukan. Kejar yang perlu kau kejar, dan dapatkan apa yang menurutmu patut dan pantas kau dapatkan.
Apapun yang terjadi padamu Aizee, Aurel, kita tetaplah sahabat. Jika masalah yang kau hadapi sudah tak kuasa disimpan sendiri, jangan pernah lupakan aku. Kita bersama untuk berbagi. Bukankah impian kita terlalu indah??? Mari kita wujudkan semuanya menjadi nyata. Apapun yang terjadi nantinya sepenuhnya milik Tuhan, yang penting kita harus tetap berusaha.
Sebentar lagi aku akan wisuda. Aku tidak berharap banyak kalian akan hadir di hari pentingku. Setidaknya, aku tahu, kalian akan selalu ada untuk mendukungku dan akan bahagia dengan kebahagiaanku. Mengetahui itu saja aku sudah sangat bahagia.
Jemariku berhenti menari. Aku termenung sesaat. Yah. Tidak lama lagi. Beberapa hari lagi hari kelulusanku akan tiba. 3 Maret 2012. Di hari itu jubah kebesaran beserta toga akan kugunakan dan secara resmi kelulusan ku raih. Terselip kesedihan dalam bahagiaku. Bahagia, karena perjuanganku melewati gerbang pertama telah selesai. Satu tanggung jawabku untuk membahagiakan kedua orangtua telah berhasil kulakukan. Dilain sisi, aku merasa sedih. Sedih karena di hari pentingku, mereka yang menempati tempat spesial dan menjadi teman terbaikku dalam menjalani hari-hari selama berada di kampus hanya berkemungkinan kecil bisa menghadirinya. Aizee tengah berada di Bandung, melanjutkan pendidikan S2, Octa juga telah memberitahuku beberapa minggu belakangan bahwasanya dia kemungkinan besar tidak bisa hadir. Sementara Aurel akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Hanya Diana yang berkemungkinan datang. Entahlah. Tidak seharusnya aku banyak berharap dan memaksakan semua berjalan seperti yang aku inginkan. Tapi sulit memungkiri keinginan yang terselip ini. Hah. Egoisnya aku.
Aku berusaha menepis hasratku. Aku tidak boleh berlarut-larut akan pengharapan. Sembari menyeruput susu cokelat yang terlalu lama ku abaikan karena terlena akan alunan musik dan email, ku pandangi foto yang terpajang di meja kecil yang terdapat di pojok kamarku. Gurat kebahagiaan dan keceriaan terpancar nyata di raut wajah sahabat-sahabatku. Foto itu diambil pada tahun pertama aku bergabung dengan Biologi UNP. Tadinya aku sempat berkeinginan untuk pindah jurusan setelah satu tahun di Biologi, karena jurusan yang sebenarnya aku idam-idamkan adalah Psikologi.  Tapi karena indahnya persahabatan, perlahan aku menyukai hari-hariku selama di Biologi, lebih tepatnya mereka memperindah perjalanan hidupku di kampus. Sesulit apapun keadaan dan seberapa membosankannya perkuliahan, jika bersama mereka aku tetap bisa tersenyum dan melewatinya.
Selesai menandaskan susu cokelat yang tidak lagi hangat, aku kembali menggerakkan jemariku di atas keyboard, merangkai kata yang ingin ku sampaikan kepada kedua gadis itu.
Kabar terakhir yang aku dapatkan, kau akan pergi liburan kan Aurel??? kalau tidak salah akhir bulan Februari ini. Iya kan…??? Kemana kau liburan?? Aku lupa, hehehehe.
Suatu hari nanti aku juga ingin seperti kalian berdua. Aku juga ingin keluar dari kota Padang ini. Pergi ke tempat yang baru dan menemui orang-orang yang baru. Aku ingin sekali mewujudkan semua itu.
Mengenai hubunganku dengan Zylan, sejauh ini hubunganku dengannya baik-baik saja. Terakhir aku cerita padamu Aurel, hubunganku berada dalam fase kejenuhan tingkat tinggi. Ketidaktahuanku mengenai Zylan dan seperti apa Zylan sebenarnya, seperti apa dunianya dan teman-temannya hadir bagai bomerang yang menggrogoti rasaku padanya. Tapi sekarang semuanya sudah mulai bisa ku atasi.
Banyak hal dari dirinya yang sebenarnya kurang ku sukai, dunianya, teman-temannya, dan sikapnya. Tapi semua harus bisa ku terima, aku tidak mungkin memintanya bertopeng untuk menjadi seseorang yang ku inginkan. Aku tidak ingin mencintai seseorang atas dasar aku yang membuat kepribadiannya, tapi aku ingin mencintai seseorang karena kepribadian yang dia miliki memang miliknya sendiri.
Perlahan aku dituntut dewasa oleh keadaan dan waktu. Aku terlalu egois selama ini. Semua hal berlaku sesuai dengan apa yang ku inginkan. Sedikit saja tidak sesuai dengan yang kuharapkan, aku langsung berlaku buruk padanya. Mungkin ini saatnya aku menyerahkannya kembali ke dunianya, ke kehidupannya, ke teman-temannya. Ini saatnya bagi Zylan untuk kembali meraih jati dirinya yang telah sempat ku renggut dan ku ganti sesuai dengan keinginanku. Sekaligus aku belajar menjadi orang yang benar-benar mencintainya.
Jodoh di tangan Tuhan, aku tidak bisa memaksakan apapun di dunia ini. Sekalipun aku ingin semua berjalan sesuai dengan mauku. Kali ini aku akan berusaha dengan cara yang berbeda. Aku berusaha mengenali dia dengan cara seperti ini.
Aku juga tidak terlalu sering lagi bertemu dengannya. Komunikasi kami cukup lancar, meskipun sesekali terasa sangat kurang atau mungkin aku yang sengaja menguranginya. Aku ingin waktu menuntunku menata semuanya dengan sempurna. Aku dan dia sama-sama menginginkan kebahagiaan. Jadi tak adil rasanya jika aku mengambil sebagian kebahagiaannya demi memenuhi kebahagiaanku semata.
Ohhh yaaa, aku juga sudah jujur kepada Ibu mengenai hubunganku dengan Zylan. Di luar dugaan aku sanggup melakukannya. Bahkan aku serasa bermimpi saat mengetahui Ibu tak marah mengetahui semuanya. Aku juga telah menjelaskan kepada Ibu alasanku menyembunyikan hubunganku selama ini. Pertama, karena aku masih kuliah. Kedua, karna dulunya Zylan belum dapat kerja.
Sekarang tidak ada alasan lagi bagiku menunda untuk jujur kepada Ibu. Zylan juga sudah bekerja di bagian Finance. Setidaknya ini awal baginya untuk melangkah maju. Setelah aku resmi memakai toga nantinya, Zylan akan kupertemukan langsung dengan Ibu dan Ayah.
Aku tidak tahu kemana arah kapal membawaku. Aku hanya berharap memiliki nahkoda yang bisa kuandalkan, yang bisa membawaku ke pelabuhan terindah nantinya.
Aku menyayangi kalian. Dimanapun, dan bagaimanapun keadaanku, aku ingin kalian tahu, aku masih dan akan selalu mengingat kalian.
Salam hangat dan pelukan untukmu gadis-gadis hebat…
Aku tunggu balasan dari kalian…

Aku mereggangkan otot-ototku yang mulai terasa kaku karena terlalu lama mengetik.
“Yah, akhirnya selesai” aku tersenyum puas menatap layar komputerku. “Hah, mataku mulai perih, saatnya tidur”. Aku beranjak meninggalkan komputer, setelah mematikannya terlebih dahulu. Penunjuk waktu telah mencapai angka 12.05 Am. Telah tiba waktunya bagiku untuk segera memeluk guling kesayangan dan bergelut dengan selimut lusuh yang begitu nyaman.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar