It’s Coming
Aku mengambil buku agenda
kuning yang sedikit lusuh karena terlalu sering digunakan dan juga pernah
terkena tetesan hujan itu dari tas biru kesayanganku, mengamati satu demi satu kegiatan
yang harus aku lakukan disana. Huft. Seperti biasa, jadwal padat yang
kadang-kadang membuatku tak bisa bernafas. Aku berhenti mengamatinya dan mulai
melingkari point pertama. Memolotinya toh tak akan membuat point-point itu
menghilang tanpa bekas. Apa tadi yang harus kulakukan? Oh ya, melakukan point
pertama yang telah kulingkari, berangkat ke kampus dan menemui pembimbingku.
Aku
melangkah keluar dari kostan dan memandangi warna biru yang menghiasi langit.
Dengan konyolnya aku menghitung gumpalan-gumpalan putih yang mengapung lembut
disana. Ada 1, 2, 3, 4 oh hei, awan itu kelihatan seperti salah satu domba
dalam Shaun the Sheep, domba gendut yang lucu dengan bulu putih yang lebat. Aku
terkekeh pelan dan mulai menghitung lagi. 5, 6. Oops.. aku hampir menabrak
mobil yang membongkar muatannya di pinggir jalan. Aku melihat kesekeliling dan
bersyukur tidak ada yang memperhatikanku. Heheheh. Akan sangat memalukan kalau ada yang
melihatnya dan tertawa. Aku berhenti melakukan hal bodoh dan dengan segera pikiranku
melayang kembali.
Disini sangat panas.
Matahari bersinar dengan teriknya setiap hari, bukan berarti aku tidak
menyukainya aku sangat menyukai langit biru, hanya saja suhu diluar ruangan membuatku
merasa seperti di dalam microwave. Andai
saja sekarang aku ada di Paris. Disana sedang musim dingin. Eiffel pasti kelihatan
sangat cantik dengan kabut tipis yang sekarang mengelilinginya. Menambahkan
kesan misterius pada keanggunannya yang tak terbantahkan. Tapi bagaimana ya dengan
petani anggur di Champagne? Mereka pasti harus bekerja keras untuk membuat
ruang bawah tanah yang berisi tong-tong penuh sari anggur itu tetap hangat. Aku
menggelengkan kepala pelan. Kenapa aku harus mengkhawatirkan petani yang
jaraknya ribuan mil dari tempatku berada sekarang. Aku seharusnya
mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku memiliki janji dengan pembimbingku jam 10
pagi dan ini sudah jam, aku melirik display ponselku, 10.05 am. Oh my,
sepertinya aku harus berlari.
---000---
Bimbingan
tadi berjalan dengan lancar, aku hanya memasang tampang tak bersalah saat aku
sadar aku terlambat dan mungkin ia memaklumi keterlambatanku melihat keringat
yang mengalir di wajahku. Aku sebenarnya bisa saja menghapusnya sebelum menemui
pembimbingku tapi hey, aku butuh sedikit alibi.
Sekarang aku menunggu pembimbing pertamaku di lobi kampus. Ia sedang mengajar dan
aku harus menunggu sampai ia selesai pukul 5 sore dan sekarang baru pukul 3. Yeah, 2 hours more to go. Aku memandangi
sekitar, melihat kerumunan mahasiswa yang ada di lobi kampus yang sibuk dengan
urusan mereka masing-masing. Sesekali aku tertawa menimpali lelucon Robi yang
kadang-kadang tak aku mengerti darimana ia temukan. Robi adalah partnerku dalam mengerjakan skripsi.
Mulai dari judul yang hampir serupa, pembimbing 1 dan 2 yang sama hingga tempat
penelitian yang sama. Bagus sekali memiliki teman dalam mengerjakan hal ini,
aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku harus menunggu selama 2
jam sendirian. Bukan berarti aku akan bosan atau apa. Aku tak pernah bosan
dengan diriku sendiri. Aku punya banyak hal untuk dilakukan dalam kesendirianku
hanya saja aku tak tahan dilihat orang sedang tak melakukan apa-apa sendirian
padahal kenyataannya aku sedang bersama imajinasiku. Aku melirik Robi lagi yang
sedang sibuk bercerita penuh semangat dengan teman-teman sekelasnya. Ini sudah
sore, tapi semangatnya untuk berbicara tak pernah padam. Aku yang melihatnya
saja sudah lelah, bagaimana ia tak pernah lelah seperti itu?
Aku
merasakan ponselku bergetar dan melihat nama yang ada disana.
Eomma calling…
Eomma?
Aku segera mengangkat panggilan itu. “Yep, mom.
Ada apa?”
“Ada
kartu pos dari Brazil” Ucapnya dengan gembira.
“Brazil?
Natalie? Ada kartu pos dari Natalie ma?” Aku juga berteriak gembira dan menjauh
dari keramaian di lobi sebelum orang-orang menjadikanku pusat perhatian.
“Iya.
Dari Natalie. Disini tertulis ‘Hey,
Adelia. How are you doing?” Aku terkekeh pelan mendengar ibuku berbicara
bahasa Inggris dengan logat bahasa Indonesia yang sangat jelas.
“Bukan
begitu cara membacanya.” Aku mendengar suara Ayahku dari kejauhan.
“Sini,
biar papa saja yang membacakan.” Sekarang Ayahku yang ikut berbicara.
“Apa
sih pa isinya? Cepetan baca.” Ujarku sedikit mendesak.
“Sebentar.
‘Hey Adelia, How are you doing? I’m fine
here in Brazil. How about your day? I really hope to see you someday here in
Brazil. You still remember our promise right? Don’t forget about that! Or ill
spell you into a Pinocchio. I miss you. Send my regard to your family. Love
you, Natalie.’ Nah, itu katanya.”
“Iya
pa? Uwaaahhhh… Pa, simpan dulu ya. Jangan dirusak. Jangan kasihin perangko
Brazilnya ke Fauzi. Nanti kalau pulang baru del ambil” Aku tersenyum senang
dengan isi kartu pos itu dan Ayahku segera mengakhiri pembicaraan setelah
beberapa pertanyaan ‘normal’ tentang keadaanku dan skripsiku.
Aku
tersenyum dan kembali ke lobi menunggu. Disana masih ada Robi yang bercerita
dengan semangat yang belum sirna dan beberapa wajah yang kukenal melakukan
sesuatu dengan laptopnya dan yang lainnya mengobrol atau sekedar duduk diam
menunggu seperti aku. Tanpa kusadari aku kembali hanyut dalam lamunanku.
Natalie Yuki. Trainee dari Brazil yang datang ke kota ini November lalu.
Natalie yang sangat aku sayangi dan sudah aku anggap seperti kakak perempuanku
sendiri. Dan kedua orangtuaku juga menyayangi dan menyukainya. Hhmm. Apa ya
yang ia lakukan di Sao Paolo sekarang? Sedang jam berapa disana? Kalau tidak
salah Natalie pernah bilang kalau perbedaan waktu antara Indonesia dengan Brazil
adalah 10 jam. Berarti disana sekarang jam 1.30 pagi keesokan hari atau masih
jam 5.30 pagi hari ini? Ah, ditambah atau dikurangikah? Aku mencoba memposisikan
Sao Paolo, kota tempat dimana Natalie tinggal, dengan kota patokan waktu dunia
Greenwich. Greenwich itu di Inggris dan Brazil di sebelah mananya Inggris ya?
Ah, di belakang Inggris. Tapi kalau di peta dia berada di sebelah kanan
Indonesia. Jadi seharusnya ditambah atau dikurang ya? Aku menggerutu pelan
karena bingung sendiri memikirkan jawabannya. Baiklah, aku menyerah. Tak ada
yang lebih baik daripada menanyakannya pada si paman yang tau segalanya, yep Uncle Google.
Aku
menghidupkan laptopku dan mulai surfing
di Internet. Tidak lupa mengupdate facebook, twitter, dan tumblrku. Oh ya,
sebaiknya aku mengirimkan email
kepada Natalie. Berterima kasih atas post
card yang ia kirimkan padaku. Aku membuka emailku dan terkejut saat melihat nama Merlin Indria di Inbox-ku. Ia benar-benar mengirimiku email, aku pikir ia hanya bercanda saat
mengatakan kalau ia menerima email
dari Ayu. Aku kemudian membaca email yang dikirim Merlin dan forward-an email Ayu yang dikirimkannya untukku setelah sebelumnya aku mengirim
email terima kasihku ke Natalie.
---ooo---
Ini
sudah cukup larut, aku sudah menyelesaikan beberapa design brochure dan pamphlet
yang dibutuhkan untuk perusahaan kecil yang sedang aku bangun. Aku seharusnya
tidur. Masih banyak yang harus aku kerjakan keesokan harinya. Tapi, ada yang
menahanku untuk tetap terjaga. Ya, email-email yang aku terima hari ini. Aku
harus menulisnya sekarang. Sebelum aku malas, mengabaikannya dan akhirnya tak
ingat untuk membalasnya.
Tapi
aku tak tahu harus mulai darimana. Pada akhirnya aku hanya membiarkan jemariku
menari-nari di keyboard tanpa terlalu
memikirkan apa yang aku tulis.
February 9, 2012
Dear
Merlin and Ayu,
Hey, I got your emails.
Thanks for let me know your current state there. ^^ I’m fine, like always.
Hhmmm.. Senang sekali rasanya mengetahui kabar kalian berdua.
Bagaimana ya seharusnya aku membalas email ini. Ini sudah larut dan aku biasanya
juga tidak terlalu berbicara banyak, kalian tahu itu. Aku tidak menyangka kalau
hari ini akan mendapatkan email dari kalian berdua.
Karena email-email ini datangnya bersamaan, tidak apa-apa kan kalau aku membalasnya
dengan bersamaan pula? Bukan apa-apa, hanya akan sangat menyusahkan kalau aku
membalas email kalian dengan
terpisah. Well, aku tidak berbicara
tentang waktu senggang yang tidak aku punya atau apapun, hanya saja lebih
menyenangkan begini. Seperti berbicara bersama, face to face langsung dengan kalian berdua. Dan juga tak
ada rahasia yang berarti diantara kita kan?
Ah, liat. Bahkan
kata-kataku tersusun dengan kaku dan tidak benar. Aku menghembuskan nafas dan berhenti menulis. Ini baru dua
paragraf, tapi aku sudah stuck
seperti ini. Cck. Payah! Tapi bagaimanapun aku harus menyelesaikannya. Dengan
sedikit paksaan aku memaksa otakku untuk merangkai kata-kata berikutnya dan
kemudian menyeret jariku-jariku yang lelah untuk terus menari di keyboard laptopku.
Untukmu Ayu, aku sangat sangat sangat senang sekali mendengar kau
bahagia disana. Betapa kau mampu meraih semua impian yang kau inginkan. Kau tak
tahu betapa bangga dan bahagianya aku mengenalmu sebagai sahabatku. Kau salah
satu orang yang mampu membuatku iri dan juga terinspirasi dan turut bahagia
untuk keberhasilanmu. Hey, bagaimana caranya kau membuatku merasakan perasaan
yang campur aduk begitu terhadapmu?? Hehehhehe..
Aku menyesal sekali karena tak bisa mengantarmu ke airport seperti yang Merlin
lakukan. Seharusnya aku disana, seperti kau yang disana pagi-pagi buta saat
akan mengantar kepergianku ke India. Dan aku juga tak bisa memberikanmu banyak
waktu disaat hari-hari terakhirmu di kota ini sebelum kau pergi mengejar
impianmu ke kota yang berbeda. Aku minta maaf. Aku sangat menyesal. Aku tidak
akan memberikan alasan apa-apa. Karena itu juga tidak akan mengubah apapun. Aku
sadar kau pasti sangat kecewa padaku, seperti
aku yang juga kecewa pada diriku sendiri. Tapi lihat sisi positifnya.
Aku masih di Indonesia dan kau juga. Sebelum waktu membawa salah satu dari kita
terbang lebih jauh lagi mengejar impian-impian kita, tidak ada yang tidak
mungkin. Kita pasti akan bertemu lagi. Ingat apa yang kita impikan tentang
Bali?
Dan untukmu Merlin, aku juga ingin sekali meminta maaf. Kita masih
berada di kota yang sama tapi entah kenapa menemukanmu (atau kau yang
menemukanku?) terasa sangat mustahil. Seharusnya
kita lebih banyak lagi menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi apa yang
kulakukan? Aku hanya berada dalam duniaku sendiri dan menyingkirkanmu ke sudut
ruangan. Dan kadang-kadang aku malah bersikap seperti orang asing. Aku tidak seharusnya melakukan itu. Aku bahkan
tidak bermaksud begitu sama sekali. Hanya saja, ah entahlah.. Aku bersalah.
Maafkan aku.
Aku menghembuskan nafas
dalam saat menuliskan kalimat-kalimat itu. Memang benar, seharusnya aku meminta
maaf sedari dulu. Aku tidak bermaksud menjadikan mereka orang asing, kepribadianku yang canggung dan kakulah yang
kadang-kadang membuat beberapa orang sering salah paham. Aku tidak membenci
mereka, hanya saja setelah lama tidak bertemu seseorang aku akan berubah
menjadi gadis bodoh yang tak tahu harus mengatakan apa atau bersikap seperti
apa. Ah, payah!!
Hmm, aku sebaiknya berhenti. Sebelum kalian benar-benar berpikir
kalau ini adalah surat permohonan maaf bukannya surat dari seorang sahabat yang
sudah lama tak kalian jumpai. ^^ Apa lagi yang harus kukatakan ya? Hmm..
mungkin aku bisa menceritakan tentang kesibukan apa yang aku lakukan sekarang.
Tidak banyak. Aku sudah memantapkan pikiranku untuk mengerjakan skripsi dengan
serius. Percayakah kalian kalau aku sampai mengabaikan satu semester untuk
mengabdikan diriku dan bekerja bersama KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) dan
pemerintah dalam memerangi AIDS? Mungkin kalian sudah tau, tapi itu cerita
tentang semester lalu. Untuk semester sekarang, I
already set up my mind. Don’t worry. I’ll graduate this semester, definitely. Dan juga aku masih tetap mengajar private
paruh waktu. Aku membutuhkan uang. Kalian
tau kan kalau aku sangat menggilai backpacking. Aku harus mengumpulkan uangku sendiri untuk memenuhi hobi yang satu
itu. Orang tuaku akan memecatku menjadi anak kalau aku meminta uang untuk hobi
yang tidak murah itu. Jika mereka tau mereka pasti akan menyuruhku mengganti
hobi untuk mengoleksi serangga saja. Hehehe
Btw, aku penasaran dengan hubunganmu dengan Kiki, Ayu. Tapi tidak
apa-apa kalau kau tidak ingin menceritakannya. Aku sudah mendengarnya dari
beberapa orang. :p Dan Merlin, terakhir kali aku mendengar ceritamu kau sedang
mengalami masalah kebosanan yang serius dengan Dedek. Apa kau sudah menemukan
cara untuk mengatasinya? Aku hanya bertanya. Kalau kalian tidak mau
menjawabnya, tidak apa-apa. Feel free to do it. Aku menjunjung tinggi privasi. ^^
And ya, ini sudah larut, aku harus bangun besok pagi-pagi sekali. I hate wake up early the most but, I don’t have much choice. L Aku menunggu kalian membalas
emailku. ^^
Ps : Don’t worry to much, gals. Walaupun
aku jarang atau mungkin tak pernah mengatakannya, tapi aku benar-benar
menyayangi kalian. Kalian tau aku tak bisa menunjukkan perasaanku dengan baik.
Dan aku juga benar-benar merindukan kalian. Aku tidak terlalu banyak
menggunakan perasaanku, jadi jangan khawatir tentang kalian akan kutinggalkan
atau akan kuganti dengan sahabat yang jauh lebih baik. Kalian sudah memiliki
tempat tersendiri yang tak akan tergantikan. ^^
Pps :
Pernahkah aku mengatakan ini sebelumnya, kalau selama bersama kalian aku merasa
nyaman. Aku merasa menjadi diriku sendiri. Aku bisa bicara sebebas yang aku
mau. Dan bisa mengandalkan kalian yang saat itu ada disampingku. Bersama kalian
aku merasa seperti dirumah. Terima kasih telah menjadi rumah keduaku. ^^
Ppps :
Aku pernah berfikir kalau aku akan baik sekali dalam bermain poker dengan poker face-ku ini. Haruskah aku mempelajarinya?
Love
you always,
Adelia
Aryani Putri
Aku
menguap entah untuk yang keberapa kalinya dalam beberapa menit terakhir ini.
Aku membaca sekali lagi email yang aku tulis untuk sahabat-sahabatku ini.
Memastikan tidak ada huruf yang salah ataupun kata yang janggal. Aku merasa
sedikit berlebihan saat membaca ps, pps dan ppps yang aku buat. Too honest, sweet, lovely and definitely not
like usual me. Tidakkah mereka nantinya akan terkejut? Ah, sudahlah.
Biarkan saja. Aku sudah terlalu mengantuk untuk mengeditnya. Sekali ini saja
aku akan mengatakannya, mereka sebaiknya tidak melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar