BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem kekebalan tubuh sangat
mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola makan
sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam
tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh
menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan
tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pada
bayi yang baru lahir, pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna dan
memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya
tahan tubuh bayi. Semakin dewasa, sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna.
Namun, pada orang lanjut usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun.
Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan.
Pola hidup modern menuntut
segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada
pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang serba tergesa, dan malam
karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang
dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan stres. Apabila terus
berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah
terserang penyakit. Karena itu, banyak orang yang masih muda mengidap penyakit
degeneratif.
Kondisi stres dan pola hidup
modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan kelelahan menurunkan daya tahan
tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya tahan
tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan
dini pada usia produktif.
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana sejarah imunologi?
2. Apa pengertian imunologi?
3. Apa fungsi sistem imun?
4. Bagaimana respon imun?
5. Apa saja jenis-jenis imun?
6. Apa yang dimaksud dengan antigen
dan antibody?
7. Apa yang dimaksud sistem
komplemen?
8. Apa saja sel-sel sistem imun?
9. Bagaimana reaksi
hipersensitivitas?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana
sejarah imunologi
2. Untuk mengetahui pengertian imunologi
3. Untuk mengetahui fungsi sistem
imun
4. Untuk mengetahui bagaimana respon
imun
5. Untuk mengetahui apa saja
jenis-jenis imun
6. Untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan antigen dan antibody
7. Untuk mengetahui apa yang
dimaksud sistem komplemen
8. Untuk mengetahui apa saja sel-sel
sistem imun
9. Untuk mengetahui bagaimana reaksi
hipersensitivitas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH IMUNOLOGI
Pada
mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh,
terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546,
Girolamo Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa
pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit
tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil
sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat
diidentifikasi.
1. Edwar Jenner
Pada tahun
1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi
variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow
pox). Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada
waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang
imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang
teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya mikroskop maka
kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuri
penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai
setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan
dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory)
penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies
pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar
perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang
imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch
Pada tahun
1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka
mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin
(1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman
tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk
mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk
menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan
pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG
(Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme
hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat
menginduksi kekebalan.
3. Alexander Yersin Dan Roux
Setelah
Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan
Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu
dimulailah pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi
diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum
kebal ini di kemudian hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin
spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.
4. Clemens von pirquet
Dengan
pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum
ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick
dari Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan
serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar,
dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu
peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa
reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada
anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu
kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan).
Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian
toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah
reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley
mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala klinis
konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit
ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer
(1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun
1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan
cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit.
Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan
harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih
dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal
dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut
adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).
Dengan
penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji
gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada
anak. Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu-
bungan antara asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores
dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang
peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick juga memperkenalkan uji
kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri, sehingga
makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun
1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay
fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah
ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi
klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai
dasar alergi dan dinamakan asma tipe ekstrinsik. Prausnitz dan
Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji
kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme
alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan,
proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat
dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi
alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya
obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.
Dengan
ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena
imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit
sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum
penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah
Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan
darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan
reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru
dapat dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939,
141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara
elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang
kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis
diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG,
IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas
tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan
struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan
asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang
dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh
Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin
E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE,
dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
5. Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah
mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral,
tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi.
Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah
yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif
berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964,
Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit
terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada
timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada
bursa fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum
dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam
hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit
B dalam produksi antibodi.
B.
PENGERTIAN
Sistem imun
adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar,
sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan
melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam
tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
C. FUNGSI
SISTEM IMUN
1.
Melindungi tubuh dari invasi
penyebab penyakit dengan menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau
substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan
virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh.
2.
Menghilangkan jaringan atau sel
yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan.
3.
Mengenali dan menghilangkan sel
yang abnormal.
Sasaran utama yaitu bakteri patogen dan virus. Leukosit
merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).
D. RESPONS
IMUN
Tahap:
1. Deteksi dan mengenali benda asing
1. Deteksi dan mengenali benda asing
2. Komunikasi dengan sel lain
untuk berespons
3. Rekruitmen bantuan dan
koordinasi respons
4. Destruksi atau supresi
penginvasi
E. JENIS-JENIS
SISTEM IMUN
1.
Sistem imun non spesifik ,natural atau
sudah ada dalam tubuh (pembawaan )
Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan
mikroorganisme. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap
mikroorganisme tertentu.
Terdiri dari:
a)
Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan,
batuk, bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh.
Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh
asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
b)
Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas,
kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung
bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam HCL dalam
cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan air susu dapat
melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan dinding selnya. Air susu
ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat
menghancurkan kuman gram negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen.
Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zan besi yang dibutuhkan
untuk kehidupan kuman pseudomonas.
c)
Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada
pertahanan tubuh secara humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:
Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu
destruktif bakteri dan parasit karena:
·
Komplemen dapat menghancurkan
sel membran bakteri
·
Merupakan faktor kemotaktik yang
mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
·
Komponen komplemen lain yang
mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan
memfagositosis (opsonisasi).
Interferon
Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh
berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons
terhadap infeksi virus. Interveron mempunyai sifat anti virus dengan jalan
menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten
terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan
pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
C-Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP
dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya
cepat meningkat (100 x atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena
dengan bantuan Ca++ dapat
mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d)
Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam
sistem imun non spesifik seluller.
Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan
fagositosis tetapi sel utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik
adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear
seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi
dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam
beberapa tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis),
membunuh dan mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis
sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri dan factor
biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody seperti pada halnya
dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi).
Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk
kemudian dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk
fraksi Fc dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.
Natural
Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam
sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel limfoid dari siitem imun spesifik, maka
karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung
virus atau sel neoplasma dan interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat
pematangan dan efeksitolitik sel NK.
2. Sistem imun spesifik atau adaptasi
Mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda asing. Benda asing yang pertama kali muncul dikenal oleh sistem
imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila sel imun
tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang
terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh
karena sistem tersebut hanya mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal
sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik.
sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.
sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.
Sistem imun spesifik ada
2 yaitu;
a)
Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah
limfosit B atau sel B. sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila
sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan berproliferasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat anti atau antibody.
Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum. Funsi utama antibody ini
ialah untuk pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan
dapat menetralkan toksinnya.
b)
Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik
seluler adalah limfosit T atau sel T. sel tersebut juga berasal dari sel asal
yang sama dari sel B. factor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam
peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan pengaruhnya terhadap
diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B , sel T terdiri atas
beberapa sel subset yang mempunyai fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik
adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur,
parasit, dan keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
Alamiah
·
Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody
atau sel darah putih yang disensitisasi dari badan seorang yang imun ke orang
lain yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari ibu ke anak.
·
Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu
mikoorgansme secara alamiah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan pembentukan antibody
atau sel yang tersensitisasi.
Buatan
·
Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan
serum, antibody, antitoksin misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan
ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah disensitisasi pada
tuberkolosis dan hepar.
·
Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan
vaksinasi melalui pemberian toksoid tetanus, antigen mikro organism baik yang
mati maupun yang hidup.
1. Antigen
a)
Pengertian
Antigen molekul asing yang dapat
menimbulkan respon imun spesifik dari limfosit pada manusia dan hewan.
Antigen meliputi molekul yang dimilki virus, bakteri, fungi, protozoa dan
cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat
asing seperti serbuk sari dan jaringan yang dicangkokkan. Sel B dan sel T
terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan dan melakukan aktivitas
pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi (Baratawidjaja 1991: 13;
Campbell,dkk
2000: 77).
b)
Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan
seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak
bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan
sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi.
Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul
Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang
bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein,
karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
c)
Karakteristik
Karakteristik antigen yang sangat
menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai berikut:
·
Asing
(berbeda dari self )
Pada umumnya, molekul yang dikenal
sebagai self
tidak bersifat imunogenik, jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus
dikenal sebagai nonself.
·
Ukuran
molekul
Imunogen yang paling poten biasanya
merupakan protein berukuran besar. Molekul dengan berat molekul kurang
dari 10.000 kurang bersifat imunogenik dan yang berukuran sangat kecil seperti
asam amino tidak bersifat imunogenik.
·
Kompleksitas
kimiawi dan struktural
Jumah tertentu kompleksitas kimiawi
sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam amino kurang bersifat munogenik
dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino yang
berbeda.
·
Determinan
antigenic (epitop)
Unit terkecil dari antigen kompleks
yang dapat dikat antibody disebut dengan determinan antigenic atau
epitop. Antigen dapat mempunyai satu atau lebih determinan. Suatu
determinan mempunyai ukuran lima asam amino atau gula.
·
Tatanan
genetic penjamu
Dua strain binatang dari spesies
yang sama dapat merespon secara berbeda terhadap antigen yang sama karena
perbedaan komposisi gen respon imun.
·
Dosis,
cara dan waktu pemberian antigen
Respon imun tergantung kepada
banyaknya natigen yang diberikan, maka respon imun tersebut dapat dioptmalkan
dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk jumlah dosis),
cara pemberian dan waktu pemberian (termasuk interval diantara dosis yang
diberikan)
d) Pembagian Antigen
·
Secara
fungsional
Ø
Imunogen,
yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa).
Ø
Hapten,
yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil.
·
Pembagian
antigen menurut epitop
Ø
Unideterminan,
univalent yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop pada satu molekul.
Ø
Unideterminan,
multivalent yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determian
tersebut ditemukan pada satu molekul.
Ø
Multideterminan,
univalent yaitu banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap
macamnya (kebanyakan protein).
Ø
Multideterminan,
multivalent yaitu banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam
pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara
kimiawi). (Baratawidjaja 1991: 14).
·
Pembagian
antigen menurut spesifisitas
Ø
Heteroantigen,
yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda.
Ø
Xenoantigen yaitu antigen
yang hanya dimiliki spesies tertentu.
Ø
Alloantigen (isoantigen)
yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam satu spesies.
Ø
Antigen
organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang sama dari spesies
yang berbeda.
Ø
Autoantigen,
yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri (Baratawidjaja 1991: 14-15;
Sell : 9–10).
·
Pembagian
antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
Ø
T
dependent
yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat
menimbulkan respons antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein.
Ø
T
independent yaitu
antigen yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel Tuntuk membentuk
antibodi. Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah di
dalam badan secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan,
dan flagelin polimerik bakteri.(Baratawidjaja 1991: 15).
·
Pembagian
antigen menurut sifat kimiawi
Ø
Hidrat
arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya
imunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun terutama
pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO,
mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida
pada permukaan sel darah merah.
Ø
Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik,
tetapi menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier. Lipid dianggap sebagai
hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid.
Ø
Asam
nukleat
Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi
menjadi imunogenik bila diikat oleh protein carrier.
DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respon imun
terhadap DNA terjadi pada penderita dengan SLE.
Ø
Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik
dan pada umunya multideterminan univalent.(Baratawidjaja 1991: 15)
e)
Reaksi Antigen dan
Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita
terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh.
Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein
tubuh kita yang dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut
lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian
substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis
pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan
sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang
tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Sebuah
antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul
immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu.
Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama.
Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder
yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10
sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya
bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen
untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Terdapat berbagai kategori Interaksi
antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
·
Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
·
Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
Ø
Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
Ø
Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
Ø
Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
Ø
Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
Ø
Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
·
Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.
2. Antibodi
a) Pengertian
Antibodi adalah protein
immunoglobulin yang disekresi oleh sel B yang teraktifasi oleh antigen.
Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk
melawan sel-sel asing yang masuk ke tubuh manusia. Senjata ini diproduksi oleh
sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan
menghancurkan musuh-musuh penyerbu.
b) Fungsi
·
Untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
·
Membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.
c) Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang
sangat luar biasa, karena untuk membuat antibodi spesifik untuk masing-masing
musuh merupakan proses yang luar biasa, dan pantas dicermati. Proses ini dapat
terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan, di
alam ini terdapat jutaan musuh (antigen). Dia mengetahui polanya berdasarkan
perasaan. Sulit bagi seseorang untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu,
Akan tetapi, satu sel B yang sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata,
menyimpan jutaan bit informasi dalam memorinya, dan dengan sadar menggunakannya
dalam kombinasi yang tepat.
d) Proses Pembentukan Antibodi
·
Antibodi terbentuk secara alami di dalam tubuh manusia dimana
substansi tersebut diwariskan dari ibu ke janinnya melalui inntraplasenta.
Antibody yang dihasilkan pada bayi yang baru lahir titier masih sangat rendah,
dan nanti antibody tersebut berkembang seiring perkembangan seseorang.
·
Pembentukan antibody karena keterpaparan dengan antigen yang
menghasilkan reaksi imunitas, dimana prosesnya adalah:
Misalnya bakteri salmonella.
Saat antigen (bakteri salmonella) masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
meresponnya karena itu dianggab sebagai benda asing. karena bakteri ini
sifatnya interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan dalam makrofag
karena bakteri ini juga memproduksi toksinsebagai pertahanan tubuh. Oleh karena
itu makrofag juga memproduksi APC yang berfungsi mempresentasikan antigen
terhadap limfosit.agar respon imun berlangsung dengan baik.Ada dua limfosit
yaitu limfosit B dan limfosit T.
e)
Klasifikasi Antibodi
·
IgG (Imuno globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya dalam waktu
beberapa hari, ia memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai
beberapa tahun. IgG beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem
getah bening, dan usus. Mereka mengikuti aliran darah, langsung menuju musuh
dan menghambatnya begitu terdeteksi. Mereka mempunyai efek kuat anti-bakteri
dan penghancur antigen. Mereka melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus,
serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun.
Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan
bakteri serta musuh mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena
kemampuannya serta ukurannya yang kecil, mereka dapat masuk ke dalam plasenta
ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak
diciptakan dengan karakteristik yang memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam
plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi melawan mikroba. Hal
ini dapat menyebabkan kematian sebelum lahir. Karena itu, antibodi sang ibu
akan melindungi embrio dari musuh sampai anak itu lahir.
·
IgA (Imuno globulin A)
Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan antigen
seperti air mata, air liur, ASI, darah, kantong-kantong udara, lendir, getah
lambung, dan sekresi usus. Kepekaan daerah tersebut berhubungan langsung dengan
kecenderungan bakteri dan virus yang lebih menyukai media lembap seperti itu. Secara
struktur, IgA mirip satu sama lain. Mereka mendiami bagian tubuh yang paling
mungkin dimasuki mikroba. Mereka menjaga daerah itu dalam pengawasannya
layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah kritis.
Antibodi ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam
kandungan. Setelah kelahiran, mereka tidak akan meninggalkan sang bayi,
melainkan tetap melindunginya. Setiap bayi yang baru lahir membutuhkan
pertolongan ibunya, karena IgA tidak terdapat dalam organisme bayi yang baru
lahir. Selama periode ini, IgA yang terdapat dalam ASI akan melindungi sistem
pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti IgG, jenis antibodi ini juga akan
hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur
beberapa minggu.
·
IgM (Imuno globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel
B. Pada saat organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, IgM merupakan
antibodi pertama yang dihasilkan tubuh untuk melawan musuh. Janin dalam rahim
mampu memproduksi IgM pada umur kehamilan enam bulan. Jika musuh menyerang
janin, jika janin terinfeksi kuman penyakit, produksi IgM janin akan meningkat.
Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak, dapat diketahui dari
kadar IgM dalam darah.
·
IgD (Imuno globulin D): IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan sel
B. Mereka tidak mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan
dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka membantu sel T menangkap antigen.
·
IgE (Imuno globulin E)
IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah. Antibodi ini
bertanggung jawab untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya
untuk berperang. Antibodi ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh.
Karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh orang yang sedang mengalami alergi.
G. SISTEM KOMPLEMEN
Sistem
komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein
yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar
di sirkulasi darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat
dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain,
disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem komplemen
menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik
aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem
komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga
dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut
seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks
antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi
kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen
sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel
fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat
di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh
sel fagosit mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya
aktivasi. Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C:
Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengan urutan
penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya
1.
Aktivasi Komplemen
a) Aktivasi komplemen jalur
klasik
Aktivasi
komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi
menjadi 3 tahap.
·
Regulasi jalur klasik, terjadi melalui 2 fase,
yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.
·
Aktivitas
C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1
INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan
antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1
INH.
·
Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase
dihambat oleh beberapa regulator.
b) Aktivasi komplemen jalur
alternatif
Aktivasi jalur alternatif
atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama
yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan
antibodi IgG dan IgM. Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3
diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan
H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam
plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama
dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan
oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada
keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak
terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh
faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat
yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar
5-3 ) . Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan
melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka
C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah
aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa
mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi
komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang
tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Jalur alternatif mulai dapat
diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b
pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai;
enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan
mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam
jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin
dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga
disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan
terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I. Tahap akhir
jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3.
C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran
sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran
sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan
C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks
serangan membran).
2.
Efek Biologik Komplemen
Fungsi sistem komplemen pada
pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan besar, 1) lisis sel sasaran
oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang
terbentuk selama aktivasi.
a) Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran)
yang berfungsi adalah C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh
melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif maupun
jalur klasik.
b) Sifat biologik aktif
Opsonisasi
dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat
oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin merupakan mekanisme pertahanan
utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis ini juga
lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga
berikatan dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen
komplemen pada reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya
menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya fagositosis.
Anafilaksis
dan kemotaksis
C3a, C4a dan C5a disebut
anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan sel basofil untuk
melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas dan kontraksi
otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel
basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel
mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.
Melekatnya anafilatoksin
pada reseptor yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi otot polos
tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang
paling lemah.
C5a juga mempunyai sifat
yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena C5a juga mempunyai reseptor
yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel
fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan
yang rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat
merangsang metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat
meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut
Proses
peradangan
Kombinasi dari semua fungsi
yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang
diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau
benda asing tersebut; proses ini disebut peradangan.
Pelarutan
dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun dalam jumlah
kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan dapat meningkat secara dramatis
bilamana terdapat peningkatan antigen. Kompleks imun ini bilamana berlebihan
dapat membahayakan oleh karena dapat mengendap pada dinding pembuluh darah,
mengaktivasi komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan kompleks
imun bilamana berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi
juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan komplemen pada Fc
immunoglobulin suatu kompleks imun dapat membuat ikatan antigen-antibodi yang
sudah terbentuk menjadi lemah.
Untuk menetralkan
terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem komplemen dapat
meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor yang terdapat
pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan
mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan
berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi
eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit dalam limpa dan hati (sel
Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang terdapat pada permukaan sel
eritrosit tersebut.
3.
Regulasi
Aktivasi komplemen dikontrol
melalui tiga mekanisme utama, yaitu
a)
komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada
dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen
berikutnya akan rusak,
b)
adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1
esterase inhibitor, faktor I dan faktor H,
c)
pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat
merusak fragmen komplemen yang melekat.
Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik
terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan
penghambatan C3 konvertase.
Regulasi jalur alternatif
Jalur altematif juga di
regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein dalam sirkulasi maupun yang
terdapat pada permukaan membran. Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb
untuk berikatan dengan C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b
sehingga berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka pembentukan
C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat pembentukan C3bBb;
dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I
memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada permukaan sel adalah inaktif C3b
(iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase, selanjutnya iC3b dipecah
menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.
H. SEL-SEL SISTEM IMUN
1. Sel-Sel
Sistem Imun Nonspesifik
Sel
sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah
atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu diaktivasi terlebih
dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh lagi respon imun non
spesifik merupakan lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang
mengancam. Sel-sel yang berperan dalamnsistem imun nonspesifik adalah sel
fagosit, sel nol, dan sel mediator.
a)
Sel Fagosit
Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan fagosit
polimorfonuklear. Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel
makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear terdiri dari neutrofil dan
eusinofil.
Sel Monosit dan Sel Makrofag
Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit
bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi ke
dalam jaringan, dan berkembang menjadi makrofaga (macrophage) besar (pemangsa
besar). Makrofaga jaringan, yang merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah
fagosit yang sangat efektif dan berumur panjang. Sel-sel ini menjulurkan kaki
semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke polisakarida pada
permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian dirusak oleh
enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.
Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang lain
tetap tinggal secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam paru-paru
(makrofaga alveoli), hati (sel-sel Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak
(sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada limpa, nodus limfa,
serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul asing
yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun
limpa yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan jaringan
mengalir ke dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa.
Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk menghindari
perusakan oleh sel fagositik. Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar
yang tidak dapat ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah
Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap perusakan oleh
lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.
Sel Neutrofil
Neutrofil merupakan sel fagosit
yang berasal dari sel bakal myeloid dalam sumsum tulang. Jumlahnya sekitar
60-70% dari semua sel darah putih (leukosit). Neutrofil adalah fagosit pertama
yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga besar
dan aktif. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal
kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan
memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada
disana. (Migrasi menuju sumber zat kimia yang mengundang ini disebut
kemotaksis). Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim dan laktoferin untuk
menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya yang telah difagositosis.
Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati dengan melepaskan zat-zat
limfokin yang mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada dalam
sirkulasi kurang dari 48 jam karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri
ketika mereka merusak penyerang asing.
Sel Eusinofil
Sama seperti sel fagosit
lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit
lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil
berjumlah 2-5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah
dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh,
cacing darah atau Schistosoma mansoni). Walaupun kebanyakan parasit terlalu
besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh sel fagositik lain,
namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan
khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit. Selain
itu, eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam
jaringan yang memiliki reaksi alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor
kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil
bermigrasi kearah jaringan yang meradang. Sel fagosit terutama makrofag dan
neutrofil; memiliki peran besar dalam proses peradangan. Untuk melaksanakan
fungsi tersebut sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun
spesifik lainnya.
b)
Sel Nol
Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak
mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu
disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah sebagai limfosit besar
yang khusus, memiliki granular spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan
membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel
NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. Sel
jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga
tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari
limfosit perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.
c)
Sel Mediator
Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan
trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan melepaskan
berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun.
Sel basofil dan sel mast
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan diduga
juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan
fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tapi
tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya sel basofil dianggap
berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para
peneliti membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel
mast berasal dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada dua macam
sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama
ditemukan di sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah heparin dan
histamine. Sel mast yang kedua ditemukan di slauran cerna dan napas.
Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit. Baik
sel basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat
diaktifkan oleh alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian
bila terdapat alergen spesifik berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka
perlekatan keduanya menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan melepaskan
banyak sekali histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis
yang bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal. Bahan-bahan inilah yang
menyebabkan manifestasi alergi. Selain itu keduanya pun dapat membentuk dan
menyimpan heparin dan histamin.
Trombosit
Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar di
sumsum tulang belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang
meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang
cedera maka fibrinogen, yang telah diaktifkan melalui proses berjenjang yang
melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor pembekuan, diubah menjadi fibrin.
Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang di
sekitar bakteri dan sel yang rusak.
2. Sel-sel Sistem Imun Spesifik
a) Sel T
Karakteristik Sel T
·
Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel –sel ini harus berkontak
langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity, imunitas seluler).
·
Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya,
setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.
·
Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan
di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas individu yang
bersangkutan, yaitu, baik antigen asing maupun antigen diri harus terdapat di
permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti keduanya.
·
Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor.
Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang
siap merespon secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul
kembali di sel tubuh.
·
Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam
kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang
diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya
·
Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu
sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan serangan imun seluler.
Subpopulasi sel T
Ketika sel T terpajan ke
kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T komplementer
berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah
besar sel T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.
Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah
diaktifkan oleh antigen.
·
Sel Tc (cytotocic)
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing,
misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.
·
Sel Th (helper)
Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi, memperkuat
aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan
mengaktifkan makrofag.
·
Sel Ts (supperssor)
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong. Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan
tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung
ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua subpopulasi
tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B
dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
·
Sel Tdh (delayed hypersensitivity)
Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi
lainnya ketempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Dalam
fungsinya, sel Tdh sebenarnya menyerupai sel Th.
·
Limfokin
Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan yang
mempunyai efek biologic. Bahan-bahan tersebut disebut limfokin dan dilepas sel
T yang disensitisasi. Beberapa jenis limfokin yaitu: interleukin, interferon,
factor supresor, factor penolong , dan sebagainya.
b) Sel B
Sel
B merupakan 5-15 % dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi. Fungsi
utamanya ialah memproduksi antibodi. Sel B ditandai dengan adanya
immunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian
menempel pada permukaan sel yang selanjutnya berfungsi sebagai reseptor
antigen. Kebanyakan sel perifer mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel
yang mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada permukaannya. Sel B dengan IgA banyak
ditemukan dalam usus. Antibody permukaan tersebut dapat ditemukan dengan teknik
imunofluoresen.
I.
REAKSI
HIPERSENSITIVITAS
Pada keadaan normal, mekanisme
pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan
sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe
III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut
sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah
usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan
sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu
mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang
timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I
ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing.
Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang
diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.
Urutan kejadian reaksi tipe I
adalah sebagai berikut :
a)
Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan
basofil.
b)
Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan
ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
c)
Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-
bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah
sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan
mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi
secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit
atau sirkulasi orang normal.
2.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis
terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi
baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten
yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian
kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin
terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi
tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a)
Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b)
Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang
mempunyai reseptor untuk Fc
c)
Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem
komplemen
3.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga
reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang
mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf,
yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III
ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan
antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang
efektif.
4.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi
hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan
dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin.
Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas
yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga
dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut
dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra
seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat
menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang
terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya
infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap
sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang
disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman
(tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi
jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Respon imun terjadi sebagai
akibat peristiwa yang menyangkut antigen, limfosit, antibodi, limfokin,
mediator kimia & sel efektor untuk melindungi manusia dari bahan-bahan
asing yang merugikan serta menyingkirkan jaringan mati atau rusak.
Sistem
imun terbagi dua berdasarkan perolehannya atau asalnya, yaitu
1.
Sistem imun Non Spesifik (Sistem
imun alami)
2.
Sistem imun Spesifik (Sistem
imun yang didapat/hasil adaptasi)
Berdasarkan mekanisme kerjanya,
sistem imun terbagi, yaitu:
1.
Sistem imun humoral (sistem imun
jaringan atau diluar sel, yang berperan adalah Sel B "antibodi"
2.
Sistem imun cellular (sistem
imun yang bekerja pada sel yang terinfeksi antigen, yang berperan adalah sel T
(Th, Tc, Ts)
Selain itu dalam sistem imun
juga dikenal:
1.
Komplemem (zat glikoprotein yang
berperan membantu kerja sel imun yaitu sebagai aktivator, mediator, penghancur)
2.
Sitokine/limfokim (zat yang
dihasilkan oleh sel sel limfosit dan beberapa sel sistem imun yang mana
berperan sebagao motivator dalam sistem imun.
B.
Saran
Sistem imun merupakan hal yang
sangat penting bagi tubuh kita. Terganggunya sistem imun akan menimbulkan
masalah kesehatan bagi kita. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan
pengetahuan tentang imunitas ini demi terjaganya kesehatan, terutama tugas kita
sebagai perawat yang tidak hanya sekedar mengobati tapi juga melakukan langkah
preventif/pencegahan. Salah satunya dengan cara menngkatkan daya imunitas.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke-7. Jakarta:
FKUI
Bloom. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 12. Jakarta: EGC
Judarwanto,
Widodo. “Dasar Imunologi”. http:// www.childrenallergyclinic.wordpress.com/ diakses tanggal 20
Oktober 2010
Roit, Ivan.
1990. Pokok-pokok Ilmu Kekebalan.
Jakarta:Gramedia
Sudiana.
2005. “Konsep Dasar Imunologi”. http://www.ners.unair.ac.id/ diakses 20 Oktober
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar