Powered By Blogger

GLamee Story of Aizee


Selasa, 22 Mei 2012

Peran Propolis sebagai Antidiabetes pada Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Galur Swiss Webster yang Dikondisikan Diabetes Mellitus Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah, Kadar Insulin Plasma dan Imunohistokimia Pankreas.

PROPOSAL   PENELITIAN   TESIS

Program Magister Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati-ITB
Prodi : Biologi Organismal

Nama Mahasiswa        : Ayu Nirmala Sari                 
Program Studi             : Biologi Organismal
Pembimbing                : 1. Dr. Ahmad Ridwan
                                      2. Dr. Ramadhani Eka Putra
Judul Penelitian          : Peran Propolis sebagai Antidiabetes pada Mencit
(Mus Musculus L.) Jantan Galur Swiss Webster yang Dikondisikan Diabetes Mellitus Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah, Kadar Insulin Plasma dan Imunohistokimia Pankreas.
Tempat Penelitian       : Laboratorium SITH ITB

1.      Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis adalah penyakit kronis yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah hingga melebihi batas normal atau hiperglikemia dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 126 mg/dL dalam kondisi puasa dari makanan, dan lebih dari 200 mg/dL dalam kondisi normal) (Wilson & Price, 1992).
Kondisi hiperglikemia telah dibuktikan dapat meningkatkan stres oksidatif yang artinya produksi Reactive Oxygen Species (ROS) atau radikal bebas yang melebihi kemampuan pertahanan dari antioksidan yang alami.  Stres oksidatif yang bersamaan dengan hiperglikemia mampu mengurangi jumlah glucose transporter, melemahnya transduksi sinyal insulin, dan pengaruh yang terburuk yaitu mengganggu sekresi insulin sel-sel β pankreas (Kaneto, et al., 1999).
Gejala yang sering muncul akibat penyakit diabetes mellitus ini adalah mudah haus, mudah lapar, buang air kecil lebih sering dan berat badan menurun. Komplikasi yang muncul akibat DM diantaranya gangguan berupa tinginya viskositas darah dan rendahnya velositas darah pada pembuluh darah besar atau kecil sehingga menyebabkan kerusakan jantung, otak, kaki, ginjal, mata dan saraf (Utami, 2004).
Pada tahun 2006, World Health Organization (WHO) menemukan bahwa sekitar 180 juta penduduk dunia menderita diabetes mellitus. Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita diabetes mellitus di dunia akan meningkat hingga dua kalinya. Survey yang dilakukan WHO menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India (31,77 juta), China (20,8 juta) dan Amerika (17,7 juta). Sementara itu pada tahun 2005, Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) menyatakan bahwa sekitar 8,6 % dari 210 juta penduduk Indonesia menderita diabetes mellitus (sekitar 17 juta penduduk). Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga tiga kali lipat dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang tanpa adanya tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap diabetes mellitus (Wild et al., 2004).
Mengingat banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan oleh komplikasi diabetes mellitus, serta adanya kemungkinan peningkatan jumlah penderita diabetes, maka penyakit diabetes mellitus harus segera ditangani. Kee & Hayes (1993) dan Pagliaro & Pagliaro (1986) membagi alternatif penanganan diabetes mellitus ke dalam dua kelompok yaitu obat antidiabetik, baik berupa insulin buatan atau obat hipoglikemik oral dan terapi insulin. Penggunaan ramuan herbal juga telah banyak digunakan untuk membantu menurunkan kadar gula darah, seperti penelitian yang dilakukan oleh Tabrani (2007) yang menggunakan ekstrak nimba (Azadirachta indica A.Juss), sehingga diperoleh hasil bahwa ekstrak daun nimba berpengaruh untuk menurunkan kadar glukosa darah serta cenderung meningkatkan berat badan dan kadar insulin plasma darah mencit jantan. Penelitian selanjutnya adalah pemberian polifenol pada mencit jantan yang dilakukan oleh Astrian (2009) yang membuktikan bahwa pemberian polifenol teh hijau selama 21 hari terhadap mencit DM tidak mampu menurunkan kadar glukosa darah sampai normal, namun mampu membuat mencit tersebut memiliki toleransi glukosa oral yang lebih baik. Selain itu polifenol dalam teh hijau dapat memperlambat kerusakan sel b pankreas yang disebabkan oleh toksisitas glukosa dalam darah.
Pilihan lain yang dapat dijadikan solusi untuk mengobati diabetes mellitus adalah dengan menggunakan antioksidan. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990). Senyawa antioksidan alami dari tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Nakatani, 1992)
Propolis yang merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu yang kaya akan zat-zat esensial merupakan salah satu sumber antioksidan yang dapat digunakan untuk mengobati diabetes mellitus. Propolis diproduksi oleh lebah dari getah yang diambil dan dikumpulkan dari bagian tumbuhan yang menghasilkan getah, terutama tunas tumbuhan. Menurut Elkins (1996), pada propolis terdapat 19 substansi yang memiliki struktur kimia yang berbeda dan telah terdidentifikasi, dan substansi tersebut merupakan golongan flavonoid seperti betulene dan isovanilin, antioksidan artepilin C, semua jenis vitamin kecuali vitamin K, mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kecuali sulfur, 16 rantai asam amino esensial dan lebih dari 180 phytochemicals.
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang disekresikan oleh tumbuhan sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri terhadap cekaman yang terdapat di lingkungan eksternal. Selain itu, flavonoid juga berperan dalam imun sistem tumbuhan, untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan meregenerasi sel-sel yang telah mati (Thomson, 1993). Dengan adanya kandungan bioflavonoid yang tinggi pada propolis diharapkan dapat membantu memperbaiki fungsi kelenjar pankreas dalam memproduksi insulin sehingga menurunkan kadar glukosa darah. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim (2008), flavonoid dapat mencegah terjadinya reaksi berantai superok­­­­­­­­sida menjadi hidrogen superoksida dengan cara mengikat superoksida dan membuangnya dari dalam tubuh melalui sistem eksresi. Flavonoid mengikat superoksida sebagai senyawa radikal bebas pada gugus OH nya, kemudian senyawa radikal tersebut dihantarkan ke sistem peredaran darah dan dikeluarkan dalam bentuk urin dan keringat. Terikatnya superoksida oleh gugus OH dari flavonoid menyebabkan kerusakan sel b Pulau Langerhans dapat dihentikan.
Dengan adanya kandungan asam amino yang tinggi pada propolis dapat digunakan untuk meregenerasi sel-sel b pankreas sehingga mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang normal dan penderita dapat sembuh dari penyakit diabetes mellitus.
Kondisi diabetes mellitus dapat dimiliki pada hewan model dengan cara pemberian zat kimia sebagai induktor diabetes mellitus (diabetogen). Diabetogen yang sering digunakan adalah alloxan karena dapat menyebabkan kondisi diabetes mellitus pada hewan model dalam waktu dua sampai tiga hari. Alloxan secara selektif merusak sel β pankreas dan menurunkan sensifitas sel-sel yang memiliki reseptor insulin, seperti sel hati, sel otot dan sel adiposa (Malaisse et al,1982).
2.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran propolis sebagai antidiabetes dan dosis yang paling efektif terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan galur Swiss Webster  yang dikondisikan diabetes mellitus berdasarkan analisis kadar glukosa darah, kadar insulin plasma dan analisis imunohistokimia pankreas.
3.      Hipotesis
Pemberian propolis diduga akan dapat membantu pemulihan penyakit diabetes mellitus tipe 2 dengan menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan kadar insulin plasma serta memperbaiki  kerusakan sel β pankreas mencit (Mus Musculus L.) jantan galur Swiss Webster yang dikondisikan diabetes mellitus.
4.      Tinjauan Pustaka
a.      Glukosa Darah
Gula merupakan senyawa kimia organik di dalam kelompok karbohidrat yang bersifat larut di dalam air, tidak berwarna, tidak berbau, umumnya berbentuk kristal dan terasa manis. Bentuk gula yang paling sederhana atau tunggal dikenal dengan nama monosakarida yang terdiri atas glukosa, galaktosa dan fruktosa. Ketiga jenis senyawa monosakarida ini adalah bentuk isomer dari rumus molekul yang sama yaitu C6H12O6. Gabungan dari 2 senyawa monosakarida mampu membentuk disakarida. Secara umum monosakarida dan disakarida dapat dikategorikan dengan istilah gula, berbeda dengan polisakarida yang terdiri atas pati, selulosa dan glikogen (Kimball, 2004).
Glukosa (C6H12O6) adalah bentuk monosakarida yang paling umum dan paling penting dalam metabolisme tubuh. Umumnya glukosa dapat diperoleh dari hasil penguraian polisakarida atau pengubahan senyawa non-karbohidrat menjadi glukosa (glukoneogenesis). Polisakarida adalah polimer glukosa yang berfungsi sebagai materi simpanan atau cadangan yang akan dihidrolisis untuk menyediakan glukosa bagi sel jika diperlukan. Manusia dan hewan vertebrata lainnya menyimpan polisakarida tersebut dalam bentuk glikogen di dalam jaringan otot dan hati (Campbell, et al., 2010)
Glukosa berfungsi sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme dan sumber energi utama bagi kerja otak. Oleh karena itu, glukosa harus disebarkan ke seluruh tubuh melalui darah, khususnya plasma darah yang dinamakan glukosa darah (blood glucose). Sumber utama dari glukosa darah ini yaitu glukosa hasil penguraian oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, glukosa kemudian digunakan untuk mensistesis molekul ATP (Adenosine Tri Phosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari, glukosa mampu menyediakan hampir 50-75% dari total kebutuhan energi tubuh (Irawan, 2007).
b.      Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa merupakan regulasi kadar glukosa darah dalam tubuh agar tetap dalam keadaan seimbang. Homeostasis glukosa merupakan respon terhadap beberapa faktor seperti asupan makanan, kecepatan proses pencernaan, proses metabolisme, ekskresi, latihan fisik, status fisiologis, dan status reproduksi (kehamilan/kebuntingan). Mekanisme homeostasis glukosa melibatkan proses glikogenesis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis (Hadley, 2000).
Glikogenesis adalah proses pembentukan glikogen dari glukosa darah. Glikogenolisis adalah proses perombakan glikogen menjadi glukosa, sedangkan glukoneogenesis adalah proses pembentukan glukosa dari asam amino, asam laktat atau gliserol. Dalam prosesnya, ketiga mekanisme ini melibatkan peran hormon seperti glukagon, epinefrin dan insulin (Martini et al., 2001).
Glukagon adalah hormon yang berperan dalam proses pembentukan glukosa pada saat kadar glukosa darah di bawah normal (kondisi lapar), dan epinefrin adalah hormon yang berperan dalam pembentukan glukosa darah saat puasa. Insulin merupakan hormon yang berperan secara langsung dalam menentukan kadar glukosa darah dengan cara membantu pengikatan glukosa darah oleh reseptor insulin ke dalam sel untuk kemudian diubah menjadi glikogen atau digunakan dalam metabolisme sel (Sherwood, 2004).
Pada kondisi kadar glukosa darah meningkat (keadaan absorbsi) yang biasanya terjadi sedang makan, sel β pankreas terstimulasi untuk melepaskan insulin dan menghambat sel α pankreas untuk melepaskan glukagon. Peningkatan kadar insulin plasma dan rendahnya glukagon akan menurunkan kadar glukosa menuju normal. Pada kondisi kadar glukosa darah rendah (setelah absorbsi), yang terjadi dua hingga enam jam setelah makan, sel α pankreas terstimulasi untuk melepaskan glukagon dan menghambat sel β pankreas untuk melepaskan insulin sehingga kadar glukagon dalam darah meningkat dan kadar insulin menurun sehingga meningkatkan kadar glukosa darah (Sherwood, 2004). Keterkaitan antara hormon glukagon dan insulin dalam homeostasis glukosa darah dijelaskan pada Gambar 1.
KGD ­
Sel a
Glukagon ¯
Sel b
Insulin ­
KGD ¯ Menuju Normal
KGD ¯
Sel b
Sel a
Insulin ¯
Glukagon ­
KGD ­ Menuju Normal
 










Gambar 1. Interaksi Glukagon dan Insulin dalam Homeostasis Glukosa Darah (Sherwood, 2004).

Selain pankreas beberapa organ yang berperan pula dalam homeostasis glukosa darah adalah hati yang menggunakan glukosa sebesar 50%, otot dan jaringan lemak sebesar 30-40% dan ginjal sebesar 10-20% (Utami, 2004).
c.       Insulin
Insulin adalah polipeptida yang terdiri dari dua rantai asam amino (21-30) dengan berat molekul ± 6000, yaitu rantai A dan B yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Insulin mempunyai pengaruh yang luas dalam proses kimia tubuh, diantaranya memudahkan penggunaan glukosa oleh sel dan mencegah pemecahan glikogen (glikogenolisis) secara berlebihan oleh hati dan otot (Turner & Bagnara, 1976).
Insulin disintesis oleh sel β pulau Langerhans pankreas dari molekul proinsulin yang memiliki tiga rantai asam amino. Proinsulin diturunkan preproinsulin pada saat modifikasi mRNA insulin oleh enzim yang membentuk tiga rantai, yaitu rantai A dengan ujung C, rantai B dengan ujung N, dan rantai C yang terletak diantara rantai A dan B. Aksi enzim akan memecah peptida proinsulin pada urutan asam amino ke-23 dari C pada rantai B, sehingga proinsulin terbagi menjadi insulin dan rantai C-peptida (Hadley, 2000).
Insulin dilepaskan dari pankreas apabila kadar glukosa darah melebihi 5 mM yang dapat dideteksi oleh sel β pankreas melalui glukoreseptor (GLUT-2). Glukosa yang diambi mengalami glikolisis di dalam sel β pankreas denga bantuan glukokinase menjadi glukosa-6-fosfat sehingga menghasilkan ATP. ATP yang dihasilkan mengakibatkan menutupnya chanel K+, sehingga terjadi depolarisasi membran yang akan menyebabkan membukanya chanel Ca2+ dan ahirnya Ca2+ masuk ke dalam sel β pankreas. Peningkatan ion Ca2+ dalam sel β pankreas akan mempengaruhi granula yang berisi insulin untuk bergerak menuju membran plasma serta melakukan eksositosis yang menyebabkan insulin dilepaskan (Merentek, 2006).
Setelah dilepaskan ke dalam darah, insulin akan menuju organ targetnya, diantaraya adalah hati, jaringan lemak, dan otot. Pada sel target, terdapat reseptor insulin yang terdiri dari dua subunit, yaitu α dan β. Ikatan insulin ke sub unit α akan menyebabkan perubahan konformasi dalam kompleks reseptor dengan mengaktifkan autofosforilasi tyrosinekinase pada sub unit β. Fosforilasi tersebut akan menyebabkan terjadinya fosforilasi-fosforilasi protein intraseluler lainnya, termasuk Insulin Reseptor-Substrate 1 (IRS1). Fosforilasi IRS1 menghasilkan sinyal kedua yang menghubungkan jalur insulin dengan reseptor glukosa (GLUT-4), sehingga bergerak menuju transmembran dan berikatan dengan glukosa (Hadley, 2000).
Sensitifitas reseptor insulin pada sel target insulin dapat dipengaruhi oleh kondisi senyawa dalam pembuluh darah, misalnya glukosa, asam lemak bebas, dan sitokin. Kadar glukosa darah dan kadar asam lemak bebas yang meningkat dapat menyebabkan sensitifitas reseptor insulin menurun terhadap keberadaan insulin dalam darah. Hal ini dapat terjadi karena kadar glukosa darah dan kadar asam lemak bebas dapat menyebabkan produksi Reactive Oxidative Species (ROS) lebih banyak dan menimbulkan tekanan oksidasi dalam sel target insulin (Evans et al., 2003).
Produksi ROS dan tekanan oksidasi yang tinggi dalam sel target insulin akan mengaktifasi berbagai jalur sinyal serin/threonin kinase yang sensitif terhadap “stress”, seperti SAPK (Stress Actived Protein Kinase) atau p38 MAPK (Mitogen-Activated Protein Kinase). Jalur sinyal serin/threonin kinase ini mampu memfosforilasi pada berbagai target termasuk kompleks IRS1 dan reseptor insulin. Akibatnya fosforilasi tiroksin kinase oleh insulin di reseptor insulin dan IRS1 menjadi tertekan sehingga phosphatidylinnositol-3-kinase (PI3K) tidak dapat bekerja mengubah phospoinositid biposphat (PI(3,4)P2) menjadi phosphoinositid triphosphat (PI(3,4,5)P3). Hal tersebut menyebabkan protein kinase B (PKB) tidak dapat mengaktifkan GLUT-4 menuju transmembran sel target insulin untuk mengikat glukosa, sehingga glukosa tidak dapat diambil dari sirkulasi darah ke dalam sel target insulin (Evans, 2007).
d.      Diabetes Mellitus
Respon tubuh terhadap perubahan kadar glukosa darah membutuhkan mekanisme hormon yang cukup kompleks. Jika ada satu kesalahan komponen yang berhubungan dengan pengaturan, sekresi, penyerapan atau penguraian insulin, maka akan menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar glukosa darah di atas batas normal (hiperglikemia) akibat tidak diproduksinya hormon insulin atau resistensi reseptor insulin terhadap kerja hormon insulin yang telah diproduksi oleh sel-sel β pankreas. Penyebab terbentuknya penyakit DM sangat beragam dimulai dengan adanya kelainan genetik (mutasi), kondisi patologi lainnya, kesalahan sistem imun atau tidak seimbangnya kerja hormon di dalam tubuh. Gejala DM dapat berupa menurunnya kemampuan reabsorpsi di tubulus ginjal untuk menyerap kadar glukosa darah yang berlebihan, sehingga glukosa terkandung di dalam urin yang dieksresikan (glicosuria) dan menyebakan produksi urin menjadi lebih banyak (polysuria). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit DM dengan istilah kencing manis (Martini, 2006).
Menurut Anonim 1 (2003) dalam jurnal National Diabetes Fact Sheet united States, penyakit diabetes mellitus terbagi atas 3 jenis antara lain diabetes tipe 1, diabetes tipe 2 dan gestational diabetes. Diabetes tipe 1 dapat disebut Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (DDIM) atau juvenile-onset diabetes. Penyakit ini berkembang ketika sistem imun tubuh menghancurkan sel-sel β pankreas, sehingga sel β tidak mampu memproduksi hormon insulin yang berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah, akibatnya glukosa darah tetap berada di dalam pembuluh darah dan tidak ditransfer menuju sel tubuh untuk kemudian dimetabolisme. DM tipe 1 ini biasanya menyerang anak-anak dan remaja, namun penyakit ini dapat dimulai dari berbagai macam usia. Tipe diabetes ini diperhitungkan telah menyerang sekitar 5-10% dari keseluruhan kasus penyakit diabetes yang telah didiagnosa di Amerika.
Diabetes tipe 2, biasa disebut dengan Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau adult-onset diabetes mellitus, jumlahnya diperhitungkan sekitar 90-95% dari keseluruhan kasus diabetes yang telah didiagnosa. Pada awalnya terjadi resistensi insulin yaitu menurunnya sensitifitas reseptor insulin pada hati, jaringan otot, dan jaringan adiposa sehingga hormon insulin tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (Merentek, 2006). Oleh karena kebutuhan insulin yang meningkat, pankreas berusaha memproduksi insulin dalam jumlah lebih. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, sampai akhirnya sel β kehilangan kemampuannya (disfungsi sel β) untuk memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup untuk merespon kadar glukosa yang meningkat setelah makan. DM tipe 2 sangat berhubungan dengat usia lanjut, obesitas, sejarah histologi dalam keluarga, sejarah gestational diabetes dalam keluarga, impared glucoce metabolism, kondisi fisik yang kurang aktif, dan etnik. Jumlah penderita DM tipe 2 semakin bertambah setiap tahunnya dan penderita tidak hanya orang tua diatas umur 40 tahun, namun dapat pula menyerang anak-anak di berbagai usia. Gestational diabetes berkembang hanya pada wanita selama hamil trimester ketiga. Meskipun gestational diabetes menghilang setelah bayi dilahirkan, namun sang ibu ini memiliki kecendrungan sebesar 20-50% untuk mengidap diabates tipe 2 sekitar 5-10 tahun setelahnya (Stumvoll, et al., 2005).
Pada awalnya diyakini bahwa perkembangan DM tipe 2 tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar tubuh. Proses endogen yang terjadi yaitu bahwa pengaruh usia menyebabkan semakin melemahnya kemampuan insulin sebagai induktor pengambilan glukosa darah ke dalam jaringan periferal. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa berkurangnya jumlah dan afinitas reseptor insulin bukan satu-satunya faktor utama yang terlibat dalam perkembangan penyakit DM tipe 2. Faktor obesitas, kurangnya aktivitas fisik dan stres oksidatif menjadi penyebab utama berkurangnya DM tipe 2 dengan cara meningkatkan resistensi insulin dan melemahkan sekresi insulin oleh sel β pankreas (Montonen, et al., 2004).
Selain ketiga jenis penyakit diabetes yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat suatu kondisi yang dikategorikan pra-diabetes. Penderita pra-diabetes memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi dibandingkan normal namun tidak terlalu tinggi untuk dikategorikan sebagai penyakit diabetes. Banyak orang yang menderita pra-diabetes akan berkembang menjadi diabetes tipe 2 dalam periode 10 tahun. Pra-diabetes juga mampu meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke. Penderita pra-diabetes memiliki Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Impaired Glucose Tolerance (IGT), namun ada beberapa yang memiliki keduanya sekaligus. IFG atau tidak stabilnya glukosa puasa adalah kondisi ketika kadar glukosa darah meningkat sebesar 100-125 mg/dL setelah puasa minimal 8 jam tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan sebagai diabetes. IGT atau kurangnya toleransi glukosa adalah ketika kadar glukosa darah meningkat sebesar 140-199 mg/dL setelah 2 jam dilakukan tes oral glukosa, namun kadar ini pun tidak cukup tinggi untuk dikelompokkan menjadi diabetes. Pra-diabetes mampu diobati dengan cara menurunkan berat badan sampai batas normal, menjaga pola makan dan melakukan olah raga teratur (Stumvoll, et al., 2005).
e.       Diabetogen
Diabetogen yang biasa digunakan untuk penelitian diabetes mellitus adalah alloxan, streptozotozin, glukagon dan EDTA. Diabetogen yang dapat dengan cepat menimbulkan kondisi hiperglikemia pada individu adalah alloxan. Alloxan biasanya digunakan sebagai pemutih tepung (Adams, 2005 dalam Tibrani, 2007). Tepung hasil buatan pabrik aslinya berwarna kuning karena mengandung senyawa xantophylls yang harus direaksikan dengan oksigen sehingga mampu berubah warna menjadi putih. Namun, proses ini cukup rumit dan menghabiskan biaya yang besar sehingga penggunaan senyawa kimia menjadi solusinya. Akhirnya senyawa alloxan yang digunakan untuk proses pemutihan tepung ini. Meskipun hanya digunakan dalam jumlah yang sangat kecil, namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan karena efek patologis yang dihasilkan senyawa ini (Veracity, 2005).
Alloxan memiliki dua efek patologi yaitu secara selektif menghambat sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa melalui penghambatan khusus oleh sensor glukosa di dalam sel β pankreas (glukokinase). Efek lainnya yaitu menginduksi diabetes dengan cara menginduksi pembentukkan ROS (Reactive Oxygen Species), sehingga meningkatkan stres oksidatif di dalam sel yang menyebabkan rusaknya DNA sampai nekrosis sel-sel β pankreas. Kedua proses ini dapat terjadi karena alloxan merupakan senyawa kimia yang tidak stabil dengan bentuk molekul yang serupa glukosa. Alloxan dan glukosa memiliki sifat yang sama yaitu hidrofilik dan tidak mampu melewati lipid bilayer pada membran plasma. Secara struktural, alloxan serupa dengan glukosa sehingga mampu berikatan dengan GLUT-2 di membran plasma sel β pankreas dan akan dibawa menuju sitosol. Oleh karena itu, alloxan mampu masuk ke dalam sel β dalam jumlah yang tidak terbatas (Lenzen, 2007).
f.       Propolis
Propolis adalah produk resin sarang yang dikumpulkan oleh lebah madu dari sumber tanaman. Propolis biasanya mengandung berbagai senyawa kimia yang berbeda, termasuk asam fenolat atau ester, flavonoid, terpene, aldehida aromatik dan alkohol, asam lemak, stilbenes dan β-steroid. Propolis tidak dapat digunakan dalam bentuk minyak mentah, sehingga harus dimurnikan dengan ektraksi untuk menghilangkan materi lembab dan melestarikan fraksi polifenol (Bankova, et al. 2000).
Komposisi kimiawi propolis serta warna dan aroma beranekaragam sesuai dengan zona geografisnya. Warnanya bervariasi dari hijau kekuningan sampai coklat tua tergantung pada sumber dan usianya. Hal ini dapat disamakan dengan lem aromatik, rapuh ketika dingin dan menjadi lengket dan lembut ketika kondisi hangat. Terdapat 12 jenis senyawa aktif, diantaranya adalah flavonoid, pinocembrin, acacetin, chrysin, rutin, catechin, narigenin, galangin, luteolin, kaempferol, apigenin, myricetin, dan quercetin. Dua asam fenolik, yaitu asam sinamat dan asam kafeik, dan satu derivat stilben resveratol dalam ekstrak propolis yang ditentukan oleh elektroforesis zona kapiler (CZE) (Lotfy, 2006).
Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa propolis mempunyai efek antimikrobial (Grange & Davey, 1990), antivirus (Amoros, et al., 1994), antifungi (Murad, et. Al. 2002), antiparasit, antiinflamasi dan antitumor (Bankova, 2005).
Flavonoid yang merupakan metabolit sekunder yang disekresikan oleh tumbuhan sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri terhadap cekaman yang terdapat di lingkungan eksternal. Selain itu, flavonoid juga berperan dalam imun sistem tumbuhan, yaitu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan meregenerasi sel-sel yang telah mati (Thomson, 1993).
Dengan adanya kandungan bioflavonoid yang tinggi pada propolis diharapkan dapat membantu memperbaiki fungsi kelenjar pankreas dalam memproduksi insulin sehingga menurunkan kadar glukosa darah, sehingga propolis dapat berperan sebagai antidiabetes. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim (2008), flavonoid dapat mencegah terjadinya reaksi berantai superok­­­­­­­­sida menjadi hidrogen superoksida dengan cara mengikat superoksida dan membuangnya dari dalam tubuh melalui sistem ekskresi. Flavonoid mengikat superoksida sebagai senyawa radikal bebas pada gugus OH nya, kemudian senyawa radikal tersebut dihantarkan ke sistem peredaran darah dan dikeluarkan dalam bentuk urin dan keringat. Terikatnya superoksida oleh gugus OH dari flavonoid menyebabkan kerusakan sel b Pulau Langerhans dapat dihentikan.
5.      Rencana dan Tata Kerja
a.      Objek Perlakuan
Objek yang digunakan adalah tikus jantan umur delapan minggu dengan berat badan berkisar 22-25 gram. Suhu ruangan tetap (23 ± 2oC) dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap. Persediaan makan dan minum diberikan setiap hari untuk mempertahankan berat badan rata-rata mencit.
b.      Tata Kerja
Penelitian akan dilakukan di kandang pemeliharaan hewan SITH ITB Bandung  mulai Agustus 2012 hingga April 2013 dengan kondisi cahaya 12 jam terang dan 12 jam gelap (12/24), suhu 24-29°C  dan kelembaban 60-75%.
1)      Aklimasi
Sebelum perlakuan, mencit diaklimasi terlebih dahulu selama dua minggu. Hal ini dilakukan dengan tujuan membiasakan mencit terhadap kondisi percobaan. Pada tahap ini, mencit dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam kandang yang berbeda dengan kondisi ruangan, serta pemberian pakan dan air minum yang sama.
2)      Pengkondisian Mencit Menjadi Diabetes Mellitus
Pengkondisian empat puluh empat ekor mencit jantan menjadi dalam keadaan DM tipe 2 dilakukan dengan cara menginjeksikan alloxan 70 mg/kg bb secara intraperitoneal (Tabrani, 2007). Hasilnya akan menujukkan bahwa dosis alloxan 70 mg/kg berat badan secara intraperitoneal mampu mengkondisikan mencit menjadi DM tipe 2.
Pengkondisian mencit menjadi dalam keadaan DM dimulai dengan mempuasakan 44 ekor mencit jantan selama ± 18 jam, selanjutnya diukur kadar glukosa darah dan berat badannya, serta diambil sampel darah dan bagian mata untuk pengukuran kadar insulin plasma. Dua jam berikutnya (setelah luka pada ekor mengering) mencit disuntik dengan larutan alloxan monohydrat 70 mg/kg berat badan secara intraperitoneal, kemudian mencit diberi makan dan dibiarkan di kandang selama dua hari. Di hari ketiga, setelah mencit dipuasakan ± 18 jam kadar glukosa darah dan berat badan diukur kembali. Hasil pengukuran kadar glukosa darah menunjukkan bahwa mencit telah terkondisi menjadi DM tipe 2. Pada kondisi DM ini, sampel darah mencit diambil kembali untuk pengukuran kadar insulin plasma.
3)      Penentuan Dosis dan Perlakuan Propolis
Dosis propolis yang akan dipakai pada penelitian ini ditentukan berdasarkan konversi dari dosis harian propolis yang biasa digunakan oleh manusia ke dosis yang akan dipakai oleh mencit kondisi DM dengan menggunakan tabel rasio permukaan tubuh beberapa spesies laboratorium umum (Laurance & Bacharach, 1964). Berdasarkan perhitungan konversi tersebut diperoleh dosis propolis yang akan dipakai, yaitu 13 mg/kg berat badan (P1), 22,5 mg/kg berat badan (P2) dan 39 mg/kg berat badan (P3).
Dalam penelitiaan ini 55 ekor mencit Swiss Webster jantan dibagi menjadi 5 kelompok. Satu kelompok adalah kelompok mencit sehat sebagai kontrol normal (K) sedangkan 4 kelompok lainnya diinduksi DM dengan pemberian alloxan 70 mg/kg berat badan secara intraperitoneal. Setelah kondisi hiperglikemia tercapai dalam waktu 3 hari, diberikan propolis pada kelompok P1, P2 dan P3 sedangkan akuades diberikan pada kelompok O (Kontrol DM).
4)      Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan menggunakan glucometer setelah mencit dipuasakan selama ± 18 jam. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan melukai vena lateralis pada ekor mencit, kemudian darah yang keluar dari ekor mencit diteteskan pada stripe yang sudah terpasang glucometer. Dalam waktu lima detik glucometer akan menunjukkan kadar glukosa yang terkandung dalam sampel darah.
5)      Pengukuran Kadar Insulin Plasma
Pengukuran kadar insulin plasma dari sampel darah yang telah diambil sebelumnya dilakukan setelah akhir pengamatan menggunakan mouse insulin ELISA kit dan alat microplate reader. Sampel darah untuk pengukuran kadar insulin plasma diambil dari vena sinus orbitalis pada mata mencit dengan menggunakan pipet Pasteur setelah 1,5 jam mencit diberi pakan. Selanjutnya sampel plasma diukur dengan alat micrometer reader pada panjang gelombang 450 nm.
6)      Preparasi Histologi Pankreas
Diakhir penelitian, mencit akan didislokasi dan dibedah pada bagian abdomen. Kemudian pankreas diisolasi, dibersihkan dengan larutan PBS lalu direndam di dalam larutan fiksatif Bouin selama 24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi.
Setelah itu, disiapkan parafin di cawan petri yang telah didiamkan selama semalam di dalam oven. Kemudian organ direndam di dalam parafin cair dari 1 cawan petri ke cawan petri lainnya masing-masing selama 1 jam. Selama pankreas dalam proses infiltrasi, dibuat kotak kecil sekitar 2 x 1 cm dari kertal tebal. Setelah infiltrasi selesai, kemudian parafin cair murni dituangkan ke dalam kotak kecil, dibiarkan beberapa waktu lalu organ dimasukkan ke dalam kotak (embedding) dan dibiarkan membeku lalu disimpan di dalam kulkas.
Pankreas yang telah membeku di dalam parafin lalu dipotong sesuai dengan ukurannya dan ditempelkan pada besi mikrotom. Setelah itu, mikrotom diatur untuk ketebalan 7 μm, pita sayatan yang terbentuk disimpan di atas baki preparat. Kaca preparat yang akan digunakan diteteskan terlebih dahulu dengan albumen dan didiamkan selama semalam di dalam oven 37°C. Kemudian pita sayatan dipotong kecil dan disimpan di atas akuades tersebut dan ditunggu sampai akuades menguap keseluruhannya dan dibiarkan sayatan mengembang dan menempel dengan baik. Setelah itu, dilakukan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) untuk mengetahui kualitas dari histologi pankreas yang diuji. Jika pankreas terlihat jelas dalam pewarnaan HE, maka sayatan pada lokasi itu dapat dianalisis imunohistokimia lebih lanjut.
7)      Analisis Histokimia (IHC)
Analisis imunohistokimia hanya dilakukan untuk sayatan yang memperlihatkan Pulau Langerhans dengan jelas. Pada proses ini menggunakan antibodi primer, Guinea pig polyclonal to Insulin (Abcam-ab7842) dengan pengenceran 1:50, lalu antibodi sekunder, Biotinylated goat anti-guinea pig Ig-G, (Santa Cruz-sc2440) dengan pengenceran 1:100, dan diakhiri dengan kit imunohistokimia.










8)      Rencana Alur Kegiatan Penelitian
55 Ekor
Mencit Jantan Normal
Injeksi alloxan 70mg/kg bb secaraintraperitoneal
(Tabrani, 2007)

Aklimasi

 

3 komentar:

  1. Assalammu'alaikum...mbak ayu saya mau tanya apakah mbak punya file tesis dari Tabrani (2007) dalam bentuk PDF,coz saat ini saya sedang menyusun Tesis dan ingin merujuk Tesis Tabrani (2007) sebagai referensi penyusunan Tesis saya ini..mohon informasi nya ya mbak ayu..terimakasih

    BalasHapus
  2. Waalaikum salam
    Maaf,., saya juga tidak punya tesis Tabrani dalam bntuk pdf,, saya mmbaca tesisnya di pustaka SITH,, coba aja cari disana.
    Wow hebat! Kamu meneliti apa?

    BalasHapus
  3. Peneletian q menganalisa ketahanan organ pankreas (hewan coba mencit)dalam memproduksi insulin pasca irradiasi gamma serta mengkaji efek pemberian ekstrak pare sebagai upaya terapi (antioksidan) pasca irradiasi gamma tersebut..Bandung cukup jauh apalagi saya yg belum pernah ke Jawa Barat,takut nyasar..klo gitu makasih atas respon thd komen saya di blog mbak..

    BalasHapus