PROPOSAL PENELITIAN
TESIS
Program Magister Biologi, Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati-ITB
Prodi : Biologi
Organismal
Nama
Mahasiswa : Ayu
Nirmala Sari
Program
Studi :
Biologi Organismal
Pembimbing :
1. Dr. Ahmad Ridwan
2. Dr. Ramadhani Eka Putra
Judul
Penelitian : Peran
Propolis sebagai Antidiabetes pada Mencit
(Mus Musculus L.) Jantan
Galur Swiss Webster yang Dikondisikan Diabetes Mellitus
Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah, Kadar Insulin Plasma dan
Imunohistokimia Pankreas.
Tempat
Penelitian :
Laboratorium SITH ITB
1.
Latar
Belakang
Diabetes
Mellitus (DM) atau kencing manis adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah hingga melebihi batas normal atau
hiperglikemia dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 126 mg/dL dalam
kondisi puasa dari makanan, dan lebih dari 200 mg/dL dalam kondisi normal) (Wilson
& Price, 1992).
Kondisi
hiperglikemia telah dibuktikan dapat meningkatkan stres oksidatif yang artinya
produksi Reactive Oxygen Species
(ROS) atau radikal bebas yang melebihi kemampuan pertahanan dari antioksidan
yang alami. Stres oksidatif yang
bersamaan dengan hiperglikemia mampu mengurangi jumlah glucose transporter, melemahnya transduksi sinyal insulin, dan
pengaruh yang terburuk yaitu mengganggu sekresi insulin sel-sel β pankreas
(Kaneto, et al., 1999).
Gejala
yang sering muncul akibat penyakit diabetes mellitus ini adalah mudah haus,
mudah lapar, buang air kecil lebih sering dan berat badan menurun. Komplikasi
yang muncul akibat DM diantaranya gangguan berupa tinginya viskositas darah dan
rendahnya velositas darah pada pembuluh darah besar atau kecil sehingga
menyebabkan kerusakan jantung, otak, kaki, ginjal, mata dan saraf (Utami,
2004).
Pada
tahun 2006, World Health Organization (WHO) menemukan bahwa sekitar 180 juta
penduduk dunia menderita diabetes mellitus. Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah
penderita diabetes mellitus di dunia akan meningkat hingga dua kalinya. Survey
yang dilakukan WHO menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan keempat dengan
jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India (31,77 juta), China
(20,8 juta) dan Amerika (17,7 juta). Sementara itu pada tahun 2005, Persatuan
Diabetes Indonesia (Persadia) menyatakan bahwa sekitar 8,6 % dari 210 juta
penduduk Indonesia menderita diabetes mellitus (sekitar 17 juta penduduk).
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga tiga kali lipat dalam jangka
waktu sepuluh tahun mendatang tanpa adanya tindakan pencegahan atau pengobatan
terhadap diabetes mellitus (Wild et
al., 2004).
Mengingat
banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan oleh komplikasi diabetes mellitus,
serta adanya kemungkinan peningkatan jumlah penderita diabetes, maka penyakit
diabetes mellitus harus segera ditangani. Kee & Hayes (1993) dan Pagliaro
& Pagliaro (1986) membagi alternatif penanganan diabetes mellitus ke dalam
dua kelompok yaitu obat antidiabetik, baik berupa insulin buatan atau obat
hipoglikemik oral dan terapi insulin. Penggunaan ramuan herbal juga telah
banyak digunakan untuk membantu menurunkan kadar gula darah, seperti penelitian
yang dilakukan oleh Tabrani (2007) yang menggunakan ekstrak nimba (Azadirachta indica A.Juss), sehingga
diperoleh hasil bahwa ekstrak daun nimba berpengaruh untuk menurunkan kadar
glukosa darah serta cenderung meningkatkan berat badan dan kadar insulin plasma
darah mencit jantan. Penelitian selanjutnya adalah pemberian polifenol pada
mencit jantan yang dilakukan oleh Astrian (2009) yang membuktikan bahwa
pemberian polifenol
teh hijau selama 21 hari terhadap mencit DM tidak mampu menurunkan kadar
glukosa darah sampai normal, namun mampu membuat mencit tersebut memiliki
toleransi glukosa oral yang lebih baik. Selain itu polifenol dalam teh hijau
dapat memperlambat kerusakan sel b
pankreas yang disebabkan oleh toksisitas glukosa dalam darah.
Pilihan
lain yang dapat dijadikan solusi untuk mengobati diabetes mellitus adalah
dengan menggunakan antioksidan. Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan mencegah
proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat
menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam
oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990). Senyawa antioksidan alami dari tumbuhan
umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik
polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara
turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan
lain-lain (Nakatani, 1992)
Propolis yang merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh
lebah madu yang kaya akan zat-zat esensial merupakan salah satu sumber
antioksidan yang dapat digunakan untuk mengobati diabetes mellitus. Propolis
diproduksi oleh lebah dari getah yang diambil dan dikumpulkan dari bagian
tumbuhan yang menghasilkan getah, terutama tunas tumbuhan. Menurut Elkins (1996), pada propolis terdapat 19 substansi
yang memiliki struktur kimia yang berbeda dan telah terdidentifikasi, dan
substansi tersebut merupakan golongan flavonoid seperti betulene dan
isovanilin, antioksidan artepilin C, semua jenis vitamin kecuali vitamin K,
mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kecuali sulfur, 16 rantai asam amino
esensial dan lebih dari 180 phytochemicals.
Flavonoid
merupakan metabolit sekunder yang disekresikan oleh tumbuhan sebagai salah satu
mekanisme pertahanan diri terhadap cekaman yang terdapat di lingkungan
eksternal. Selain itu, flavonoid juga berperan dalam imun sistem tumbuhan,
untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan meregenerasi sel-sel yang telah mati
(Thomson, 1993). Dengan adanya kandungan bioflavonoid yang tinggi pada propolis
diharapkan dapat membantu memperbaiki fungsi kelenjar pankreas dalam
memproduksi insulin sehingga menurunkan kadar glukosa darah. Karena menurut
penelitian yang dilakukan oleh Halim
(2008),
flavonoid dapat mencegah terjadinya reaksi berantai superoksida menjadi
hidrogen superoksida dengan cara mengikat superoksida dan membuangnya dari
dalam tubuh melalui sistem eksresi. Flavonoid mengikat superoksida sebagai
senyawa radikal bebas pada gugus OH nya, kemudian senyawa radikal tersebut
dihantarkan ke sistem peredaran darah dan dikeluarkan dalam bentuk urin dan
keringat. Terikatnya superoksida oleh gugus OH
dari flavonoid
menyebabkan kerusakan sel b Pulau Langerhans dapat dihentikan.
Dengan
adanya kandungan asam amino yang tinggi pada propolis dapat digunakan untuk
meregenerasi sel-sel b pankreas sehingga
mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang normal dan penderita
dapat sembuh dari penyakit diabetes mellitus.
Kondisi
diabetes mellitus dapat dimiliki pada hewan model dengan cara pemberian zat
kimia sebagai induktor diabetes mellitus (diabetogen). Diabetogen yang sering
digunakan adalah alloxan karena dapat
menyebabkan kondisi diabetes mellitus pada hewan model dalam waktu dua sampai
tiga hari. Alloxan secara selektif
merusak sel β pankreas dan menurunkan sensifitas sel-sel yang memiliki reseptor
insulin, seperti sel hati, sel otot dan sel adiposa (Malaisse et al,1982).
2.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran propolis sebagai antidiabetes dan dosis yang paling efektif terhadap mencit
(Mus musculus
L.) jantan galur Swiss Webster yang dikondisikan diabetes mellitus
berdasarkan analisis
kadar glukosa darah,
kadar insulin plasma dan analisis imunohistokimia pankreas.
3.
Hipotesis
Pemberian
propolis diduga akan dapat membantu pemulihan penyakit diabetes mellitus tipe
2 dengan menurunkan kadar glukosa darah
dan meningkatkan kadar insulin plasma serta memperbaiki
kerusakan sel β pankreas mencit (Mus Musculus L.) jantan galur Swiss Webster yang dikondisikan
diabetes mellitus.
4.
Tinjauan
Pustaka
a.
Glukosa Darah
Gula merupakan senyawa kimia organik di dalam
kelompok karbohidrat yang bersifat larut di dalam air, tidak berwarna, tidak berbau,
umumnya berbentuk kristal dan terasa manis. Bentuk gula yang paling sederhana
atau tunggal dikenal dengan nama monosakarida yang terdiri atas glukosa, galaktosa
dan fruktosa. Ketiga jenis senyawa monosakarida ini adalah bentuk isomer dari
rumus molekul yang sama yaitu C6H12O6. Gabungan
dari 2 senyawa monosakarida mampu membentuk disakarida. Secara umum
monosakarida dan disakarida dapat dikategorikan dengan istilah gula, berbeda
dengan polisakarida yang terdiri atas pati, selulosa dan glikogen (Kimball,
2004).
Glukosa (C6H12O6) adalah bentuk monosakarida yang paling umum dan paling penting dalam
metabolisme tubuh. Umumnya glukosa dapat diperoleh dari hasil penguraian
polisakarida atau pengubahan senyawa non-karbohidrat menjadi glukosa (glukoneogenesis).
Polisakarida adalah polimer glukosa yang berfungsi sebagai materi simpanan atau
cadangan yang akan dihidrolisis untuk menyediakan glukosa bagi sel jika
diperlukan. Manusia dan hewan vertebrata lainnya menyimpan polisakarida
tersebut dalam bentuk glikogen di dalam jaringan otot dan hati (Campbell, et al., 2010)
Glukosa berfungsi sebagai bahan bakar bagi proses
metabolisme dan sumber energi utama bagi kerja otak. Oleh karena itu, glukosa
harus disebarkan ke seluruh tubuh melalui darah, khususnya plasma darah yang
dinamakan glukosa darah (blood glucose).
Sumber utama dari glukosa darah ini yaitu glukosa hasil penguraian oksidasi
yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, glukosa kemudian digunakan untuk
mensistesis molekul ATP (Adenosine Tri Phosphate)
yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. Dalam
kehidupan sehari-hari, glukosa mampu menyediakan hampir 50-75% dari total kebutuhan
energi tubuh (Irawan, 2007).
b.
Homeostasis
Glukosa
Homeostasis glukosa merupakan regulasi kadar glukosa
darah dalam tubuh agar tetap dalam keadaan seimbang. Homeostasis glukosa
merupakan respon terhadap beberapa faktor seperti asupan makanan, kecepatan
proses pencernaan, proses metabolisme, ekskresi, latihan fisik, status
fisiologis, dan status reproduksi (kehamilan/kebuntingan). Mekanisme
homeostasis glukosa melibatkan proses glikogenesis, glikogenolisis, dan
glukoneogenesis (Hadley, 2000).
Glikogenesis adalah proses pembentukan glikogen dari
glukosa darah. Glikogenolisis adalah proses perombakan glikogen menjadi
glukosa, sedangkan glukoneogenesis adalah proses pembentukan glukosa dari asam
amino, asam laktat atau gliserol. Dalam prosesnya, ketiga mekanisme ini
melibatkan peran hormon seperti glukagon, epinefrin dan insulin (Martini et al., 2001).
Glukagon adalah hormon yang berperan dalam proses
pembentukan glukosa pada saat kadar glukosa darah di bawah normal (kondisi
lapar), dan epinefrin adalah hormon yang berperan dalam pembentukan glukosa
darah saat puasa. Insulin merupakan hormon yang berperan secara langsung dalam
menentukan kadar glukosa darah dengan cara membantu pengikatan glukosa darah
oleh reseptor insulin ke dalam sel untuk kemudian diubah menjadi glikogen atau
digunakan dalam metabolisme sel (Sherwood, 2004).
Pada kondisi kadar glukosa darah meningkat (keadaan
absorbsi) yang biasanya terjadi sedang makan, sel β pankreas terstimulasi untuk
melepaskan insulin dan menghambat sel α pankreas untuk melepaskan glukagon. Peningkatan
kadar insulin plasma dan rendahnya glukagon akan menurunkan kadar glukosa menuju
normal. Pada kondisi kadar glukosa darah rendah (setelah absorbsi), yang
terjadi dua hingga enam jam setelah makan, sel α pankreas terstimulasi untuk
melepaskan glukagon dan menghambat sel β pankreas untuk melepaskan insulin
sehingga kadar glukagon dalam darah meningkat dan kadar insulin menurun
sehingga meningkatkan kadar glukosa darah (Sherwood, 2004). Keterkaitan antara
hormon glukagon dan insulin dalam homeostasis glukosa darah dijelaskan pada
Gambar 1.
Gambar
1. Interaksi Glukagon dan
Insulin dalam Homeostasis Glukosa Darah (Sherwood, 2004).
Selain pankreas beberapa organ yang berperan pula
dalam homeostasis glukosa darah adalah hati yang menggunakan glukosa sebesar
50%, otot dan jaringan lemak sebesar 30-40% dan ginjal sebesar 10-20% (Utami,
2004).
c.
Insulin
Insulin adalah polipeptida yang terdiri dari dua
rantai asam amino (21-30) dengan berat molekul ± 6000, yaitu rantai A dan B
yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Insulin mempunyai pengaruh yang luas
dalam proses kimia tubuh, diantaranya memudahkan penggunaan glukosa oleh sel
dan mencegah pemecahan glikogen (glikogenolisis) secara berlebihan oleh hati
dan otot (Turner & Bagnara, 1976).
Insulin disintesis oleh sel β pulau Langerhans
pankreas dari molekul proinsulin yang memiliki tiga rantai asam amino.
Proinsulin diturunkan preproinsulin pada saat modifikasi mRNA insulin oleh
enzim yang membentuk tiga rantai, yaitu rantai A dengan ujung C, rantai B
dengan ujung N, dan rantai C yang terletak diantara rantai A dan B. Aksi enzim
akan memecah peptida proinsulin pada urutan asam amino ke-23 dari C pada rantai
B, sehingga proinsulin terbagi menjadi insulin dan rantai C-peptida (Hadley,
2000).
Insulin dilepaskan dari pankreas apabila kadar
glukosa darah melebihi 5 mM yang dapat dideteksi oleh sel β pankreas melalui
glukoreseptor (GLUT-2). Glukosa yang diambi mengalami glikolisis di dalam sel β
pankreas denga bantuan glukokinase menjadi glukosa-6-fosfat sehingga
menghasilkan ATP. ATP yang dihasilkan mengakibatkan menutupnya chanel K+, sehingga terjadi depolarisasi
membran yang akan menyebabkan membukanya chanel
Ca2+ dan ahirnya Ca2+ masuk ke dalam sel β pankreas.
Peningkatan ion Ca2+ dalam sel β pankreas akan
mempengaruhi granula yang berisi insulin untuk bergerak menuju membran plasma
serta melakukan eksositosis yang menyebabkan insulin dilepaskan (Merentek,
2006).
Setelah dilepaskan ke dalam darah, insulin akan
menuju organ targetnya, diantaraya adalah hati, jaringan lemak, dan otot. Pada
sel target, terdapat reseptor insulin yang terdiri dari dua subunit, yaitu α
dan β. Ikatan insulin ke sub unit α akan menyebabkan perubahan konformasi dalam
kompleks reseptor dengan mengaktifkan autofosforilasi tyrosinekinase pada sub
unit β. Fosforilasi tersebut akan menyebabkan terjadinya fosforilasi-fosforilasi
protein intraseluler lainnya, termasuk Insulin Reseptor-Substrate 1 (IRS1).
Fosforilasi IRS1 menghasilkan sinyal kedua yang menghubungkan jalur insulin
dengan reseptor glukosa (GLUT-4), sehingga bergerak menuju transmembran dan
berikatan dengan glukosa (Hadley, 2000).
Sensitifitas reseptor insulin pada sel target
insulin dapat dipengaruhi oleh kondisi senyawa dalam pembuluh darah, misalnya
glukosa, asam lemak bebas, dan sitokin. Kadar glukosa darah dan kadar asam
lemak bebas yang meningkat dapat menyebabkan sensitifitas reseptor insulin
menurun terhadap keberadaan insulin dalam darah. Hal ini dapat terjadi karena
kadar glukosa darah dan kadar asam lemak bebas dapat menyebabkan produksi Reactive Oxidative Species (ROS) lebih
banyak dan menimbulkan tekanan oksidasi dalam sel target insulin (Evans et al., 2003).
Produksi ROS dan tekanan oksidasi yang tinggi dalam
sel target insulin akan mengaktifasi berbagai jalur sinyal serin/threonin
kinase yang sensitif terhadap “stress”, seperti SAPK (Stress Actived Protein
Kinase) atau p38 MAPK (Mitogen-Activated Protein Kinase). Jalur sinyal serin/threonin
kinase ini mampu memfosforilasi pada berbagai target termasuk kompleks IRS1 dan
reseptor insulin. Akibatnya fosforilasi tiroksin kinase oleh insulin di reseptor
insulin dan IRS1 menjadi tertekan sehingga phosphatidylinnositol-3-kinase
(PI3K) tidak dapat bekerja mengubah phospoinositid biposphat (PI(3,4)P2)
menjadi phosphoinositid triphosphat (PI(3,4,5)P3). Hal tersebut menyebabkan
protein kinase B (PKB) tidak dapat mengaktifkan GLUT-4 menuju transmembran sel
target insulin untuk mengikat glukosa, sehingga glukosa tidak dapat diambil
dari sirkulasi darah ke dalam sel target insulin (Evans, 2007).
d.
Diabetes
Mellitus
Respon tubuh terhadap perubahan kadar glukosa darah
membutuhkan mekanisme hormon yang cukup kompleks. Jika ada satu kesalahan
komponen yang berhubungan dengan pengaturan, sekresi, penyerapan atau
penguraian insulin, maka akan menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah yang
tidak terkontrol. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang ditandai
dengan adanya kenaikan kadar glukosa darah di atas batas normal (hiperglikemia)
akibat tidak diproduksinya hormon insulin atau resistensi reseptor insulin
terhadap kerja hormon insulin yang telah diproduksi oleh sel-sel β pankreas.
Penyebab terbentuknya penyakit DM sangat beragam dimulai dengan adanya kelainan
genetik (mutasi), kondisi patologi lainnya, kesalahan sistem imun atau tidak
seimbangnya kerja hormon di dalam tubuh. Gejala DM dapat berupa menurunnya
kemampuan reabsorpsi di tubulus ginjal untuk menyerap kadar glukosa darah yang
berlebihan, sehingga glukosa terkandung di dalam urin yang dieksresikan
(glicosuria) dan menyebakan produksi urin menjadi lebih banyak (polysuria).
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit DM dengan istilah
kencing manis (Martini, 2006).
Menurut Anonim 1 (2003) dalam jurnal National Diabetes Fact Sheet united States, penyakit
diabetes mellitus terbagi atas 3 jenis antara lain diabetes tipe 1, diabetes
tipe 2 dan gestational diabetes.
Diabetes tipe 1 dapat disebut Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus (DDIM) atau juvenile-onset
diabetes. Penyakit ini berkembang ketika sistem imun tubuh menghancurkan
sel-sel β pankreas, sehingga sel β tidak mampu memproduksi hormon insulin yang
berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah, akibatnya glukosa darah tetap
berada di dalam pembuluh darah dan tidak ditransfer menuju sel tubuh untuk
kemudian dimetabolisme. DM tipe 1 ini biasanya menyerang anak-anak dan remaja,
namun penyakit ini dapat dimulai dari berbagai macam usia. Tipe diabetes ini
diperhitungkan telah menyerang sekitar 5-10% dari keseluruhan kasus penyakit
diabetes yang telah didiagnosa di Amerika.
Diabetes tipe 2, biasa disebut dengan Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau adult-onset diabetes
mellitus, jumlahnya diperhitungkan sekitar 90-95% dari keseluruhan kasus
diabetes yang telah didiagnosa. Pada awalnya terjadi resistensi insulin yaitu
menurunnya sensitifitas reseptor insulin pada hati, jaringan otot, dan jaringan
adiposa sehingga hormon insulin tidak dipergunakan sebagaimana mestinya
(Merentek, 2006). Oleh karena kebutuhan insulin yang meningkat, pankreas
berusaha memproduksi insulin dalam jumlah lebih. Namun kondisi ini tidak
bertahan lama, sampai akhirnya sel β kehilangan kemampuannya (disfungsi sel β)
untuk memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup untuk merespon kadar glukosa
yang meningkat setelah makan. DM tipe 2 sangat berhubungan dengat usia lanjut,
obesitas, sejarah histologi dalam keluarga, sejarah gestational diabetes dalam keluarga, impared glucoce metabolism, kondisi fisik yang kurang aktif, dan
etnik. Jumlah penderita DM tipe 2 semakin bertambah setiap tahunnya dan
penderita tidak hanya orang tua diatas umur 40 tahun, namun dapat pula
menyerang anak-anak di berbagai usia. Gestational
diabetes berkembang hanya pada wanita selama hamil trimester ketiga.
Meskipun gestational diabetes menghilang setelah bayi dilahirkan, namun sang
ibu ini memiliki kecendrungan sebesar 20-50% untuk mengidap diabates tipe 2
sekitar 5-10 tahun setelahnya (Stumvoll, et al., 2005).
Pada awalnya diyakini bahwa perkembangan DM tipe 2
tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar tubuh. Proses endogen yang terjadi
yaitu bahwa pengaruh usia menyebabkan semakin melemahnya kemampuan insulin
sebagai induktor pengambilan glukosa darah ke dalam jaringan periferal. Namun,
beberapa penelitian membuktikan bahwa berkurangnya jumlah dan afinitas reseptor
insulin bukan satu-satunya faktor utama yang terlibat dalam perkembangan penyakit
DM tipe 2. Faktor obesitas, kurangnya aktivitas fisik dan stres oksidatif
menjadi penyebab utama berkurangnya DM tipe 2 dengan cara meningkatkan
resistensi insulin dan melemahkan sekresi insulin oleh sel β pankreas
(Montonen, et al., 2004).
Selain ketiga jenis penyakit diabetes yang telah
dijelaskan sebelumnya, terdapat suatu kondisi yang dikategorikan pra-diabetes.
Penderita pra-diabetes memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi
dibandingkan normal namun tidak terlalu tinggi untuk dikategorikan sebagai
penyakit diabetes. Banyak orang yang menderita pra-diabetes akan berkembang
menjadi diabetes tipe 2 dalam periode 10 tahun. Pra-diabetes juga mampu
meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke. Penderita pra-diabetes
memiliki Impaired Fasting Glucose
(IFG) atau Impaired Glucose Tolerance
(IGT), namun ada beberapa yang memiliki keduanya sekaligus. IFG atau tidak
stabilnya glukosa puasa adalah kondisi ketika kadar glukosa darah meningkat
sebesar 100-125 mg/dL setelah puasa minimal 8 jam tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikategorikan sebagai diabetes. IGT atau kurangnya toleransi glukosa adalah
ketika kadar glukosa darah meningkat sebesar 140-199 mg/dL setelah 2 jam
dilakukan tes oral glukosa, namun kadar ini pun tidak cukup tinggi untuk
dikelompokkan menjadi diabetes. Pra-diabetes mampu diobati dengan cara
menurunkan berat badan sampai batas normal, menjaga pola makan dan melakukan
olah raga teratur (Stumvoll, et al.,
2005).
e.
Diabetogen
Diabetogen yang biasa digunakan untuk penelitian
diabetes mellitus adalah alloxan,
streptozotozin, glukagon dan EDTA. Diabetogen yang dapat dengan cepat
menimbulkan kondisi hiperglikemia pada individu adalah alloxan. Alloxan
biasanya digunakan sebagai pemutih tepung (Adams, 2005 dalam Tibrani, 2007).
Tepung hasil buatan pabrik aslinya berwarna kuning karena mengandung senyawa xantophylls yang harus direaksikan
dengan oksigen sehingga mampu berubah warna menjadi putih. Namun, proses ini
cukup rumit dan menghabiskan biaya yang besar sehingga penggunaan senyawa kimia
menjadi solusinya. Akhirnya senyawa alloxan
yang digunakan untuk proses pemutihan tepung ini. Meskipun hanya digunakan
dalam jumlah yang sangat kecil, namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan
karena efek patologis yang dihasilkan senyawa ini (Veracity, 2005).
Alloxan memiliki dua efek patologi
yaitu secara selektif menghambat sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa
melalui penghambatan khusus oleh sensor glukosa di dalam sel β pankreas
(glukokinase). Efek lainnya yaitu menginduksi diabetes dengan cara menginduksi
pembentukkan ROS (Reactive Oxygen Species),
sehingga meningkatkan stres oksidatif di dalam sel yang menyebabkan rusaknya
DNA sampai nekrosis sel-sel β pankreas. Kedua proses ini dapat terjadi karena alloxan merupakan senyawa kimia yang
tidak stabil dengan bentuk molekul yang serupa glukosa. Alloxan dan glukosa memiliki sifat yang sama yaitu hidrofilik dan
tidak mampu melewati lipid bilayer pada
membran plasma. Secara struktural, alloxan
serupa dengan glukosa sehingga mampu berikatan dengan GLUT-2 di membran plasma
sel β pankreas dan akan dibawa menuju sitosol. Oleh karena itu, alloxan mampu masuk ke dalam sel β dalam
jumlah yang tidak terbatas (Lenzen, 2007).
f.
Propolis
Propolis adalah produk resin sarang yang dikumpulkan
oleh lebah madu dari sumber tanaman. Propolis biasanya mengandung berbagai
senyawa kimia yang berbeda, termasuk asam fenolat atau ester, flavonoid,
terpene, aldehida aromatik dan alkohol, asam lemak, stilbenes dan β-steroid. Propolis tidak dapat digunakan dalam
bentuk minyak mentah, sehingga harus dimurnikan dengan ektraksi untuk
menghilangkan materi lembab dan melestarikan fraksi polifenol (Bankova, et al.
2000).
Komposisi kimiawi propolis serta warna dan aroma
beranekaragam sesuai dengan zona geografisnya. Warnanya bervariasi dari hijau
kekuningan sampai coklat tua tergantung pada sumber dan usianya. Hal ini dapat
disamakan dengan lem aromatik, rapuh ketika dingin dan menjadi lengket dan
lembut ketika kondisi hangat. Terdapat 12 jenis senyawa aktif, diantaranya
adalah flavonoid, pinocembrin, acacetin, chrysin, rutin, catechin, narigenin,
galangin, luteolin, kaempferol, apigenin, myricetin, dan quercetin. Dua asam
fenolik, yaitu asam sinamat dan asam kafeik, dan satu derivat stilben
resveratol dalam ekstrak propolis yang ditentukan oleh elektroforesis zona
kapiler (CZE) (Lotfy, 2006).
Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa
propolis mempunyai efek antimikrobial (Grange & Davey, 1990), antivirus
(Amoros, et al., 1994), antifungi (Murad, et. Al. 2002), antiparasit,
antiinflamasi dan antitumor (Bankova, 2005).
Flavonoid
yang merupakan metabolit sekunder yang disekresikan oleh tumbuhan sebagai salah
satu mekanisme pertahanan diri terhadap cekaman yang terdapat di lingkungan
eksternal. Selain itu, flavonoid juga berperan dalam imun sistem tumbuhan,
yaitu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan meregenerasi sel-sel yang telah
mati (Thomson, 1993).
Dengan
adanya kandungan bioflavonoid yang tinggi pada propolis diharapkan dapat
membantu memperbaiki fungsi kelenjar pankreas dalam memproduksi insulin
sehingga menurunkan kadar glukosa darah, sehingga propolis dapat berperan
sebagai antidiabetes. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim
(2008), flavonoid dapat mencegah terjadinya reaksi berantai
superoksida menjadi hidrogen superoksida dengan cara mengikat
superoksida dan membuangnya dari dalam tubuh melalui sistem ekskresi. Flavonoid
mengikat superoksida sebagai senyawa radikal bebas pada gugus OH nya, kemudian
senyawa radikal tersebut dihantarkan ke sistem peredaran darah dan dikeluarkan
dalam bentuk urin dan keringat. Terikatnya superoksida oleh gugus OH
dari flavonoid menyebabkan kerusakan sel b Pulau Langerhans dapat dihentikan.
5.
Rencana
dan Tata Kerja
a.
Objek Perlakuan
Objek yang digunakan adalah tikus jantan umur
delapan minggu dengan berat badan berkisar 22-25 gram. Suhu ruangan tetap (23 ± 2oC)
dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap. Persediaan makan dan minum
diberikan setiap hari untuk mempertahankan berat badan rata-rata mencit.
b.
Tata
Kerja
Penelitian akan dilakukan di kandang pemeliharaan
hewan SITH ITB Bandung mulai Agustus
2012 hingga April 2013 dengan kondisi cahaya 12 jam terang dan 12 jam gelap
(12/24), suhu 24-29°C dan kelembaban
60-75%.
1)
Aklimasi
Sebelum perlakuan, mencit diaklimasi terlebih dahulu
selama dua minggu. Hal ini dilakukan dengan tujuan membiasakan mencit terhadap
kondisi percobaan. Pada tahap ini, mencit dibagi menjadi 5 kelompok.
Masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam kandang yang berbeda dengan kondisi
ruangan, serta pemberian pakan dan air minum yang sama.
2)
Pengkondisian
Mencit Menjadi Diabetes Mellitus
Pengkondisian empat puluh empat
ekor mencit jantan menjadi dalam keadaan DM tipe 2 dilakukan dengan cara
menginjeksikan alloxan 70 mg/kg bb
secara intraperitoneal (Tabrani, 2007). Hasilnya akan menujukkan bahwa dosis alloxan 70 mg/kg berat badan secara
intraperitoneal mampu mengkondisikan mencit menjadi DM tipe 2.
Pengkondisian mencit menjadi
dalam keadaan DM dimulai dengan mempuasakan 44 ekor mencit jantan selama ± 18
jam, selanjutnya diukur kadar glukosa darah dan berat badannya, serta diambil
sampel darah dan bagian mata untuk pengukuran kadar insulin plasma. Dua jam
berikutnya (setelah luka pada ekor mengering) mencit disuntik dengan larutan alloxan monohydrat 70 mg/kg berat badan
secara intraperitoneal, kemudian mencit diberi makan dan dibiarkan di kandang
selama dua hari. Di hari ketiga, setelah mencit dipuasakan ± 18 jam kadar glukosa
darah dan berat badan diukur kembali. Hasil pengukuran kadar glukosa darah
menunjukkan bahwa mencit telah terkondisi menjadi DM tipe 2. Pada kondisi DM
ini, sampel darah mencit diambil kembali untuk pengukuran kadar insulin plasma.
3)
Penentuan Dosis dan Perlakuan Propolis
Dosis propolis yang akan
dipakai pada penelitian ini ditentukan berdasarkan konversi dari dosis harian
propolis yang biasa digunakan oleh manusia ke dosis yang akan dipakai oleh
mencit kondisi DM dengan menggunakan tabel rasio permukaan tubuh beberapa
spesies laboratorium umum (Laurance & Bacharach, 1964). Berdasarkan
perhitungan konversi tersebut diperoleh dosis propolis yang akan dipakai, yaitu
13 mg/kg berat badan (P1), 22,5 mg/kg berat badan (P2) dan 39 mg/kg berat badan
(P3).
Dalam penelitiaan ini 55 ekor
mencit Swiss Webster jantan dibagi menjadi 5 kelompok. Satu kelompok adalah
kelompok mencit sehat sebagai kontrol normal (K) sedangkan 4 kelompok lainnya
diinduksi DM dengan pemberian alloxan
70 mg/kg berat badan secara intraperitoneal. Setelah kondisi hiperglikemia
tercapai dalam waktu 3 hari, diberikan propolis pada kelompok P1, P2 dan P3 sedangkan
akuades diberikan pada kelompok O (Kontrol DM).
4)
Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Pengukuran kadar glukosa darah
dilakukan dengan menggunakan glucometer setelah
mencit dipuasakan selama ± 18 jam. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran
kadar glukosa darah dilakukan dengan melukai vena lateralis pada ekor mencit,
kemudian darah yang keluar dari ekor mencit diteteskan pada stripe yang sudah terpasang glucometer. Dalam waktu lima detik glucometer akan menunjukkan kadar
glukosa yang terkandung dalam sampel darah.
5)
Pengukuran Kadar Insulin Plasma
Pengukuran kadar insulin plasma
dari sampel darah yang telah diambil sebelumnya dilakukan setelah akhir
pengamatan menggunakan mouse insulin
ELISA kit dan alat microplate reader.
Sampel darah untuk pengukuran kadar insulin plasma diambil dari vena sinus
orbitalis pada mata mencit dengan menggunakan pipet Pasteur setelah 1,5 jam
mencit diberi pakan. Selanjutnya sampel plasma diukur dengan alat micrometer reader pada panjang gelombang
450 nm.
6)
Preparasi Histologi Pankreas
Diakhir penelitian, mencit akan
didislokasi dan dibedah pada bagian abdomen. Kemudian pankreas diisolasi,
dibersihkan dengan larutan PBS lalu direndam di dalam larutan fiksatif Bouin
selama 24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi.
Setelah itu, disiapkan parafin
di cawan petri yang telah didiamkan selama semalam di dalam oven. Kemudian organ
direndam di dalam parafin cair dari 1 cawan petri ke cawan petri lainnya
masing-masing selama 1 jam. Selama pankreas dalam proses infiltrasi, dibuat kotak
kecil sekitar 2 x 1 cm dari kertal tebal. Setelah infiltrasi selesai, kemudian
parafin cair murni dituangkan ke dalam kotak kecil, dibiarkan beberapa waktu
lalu organ dimasukkan ke dalam kotak (embedding)
dan dibiarkan membeku lalu disimpan di dalam kulkas.
Pankreas yang telah membeku di
dalam parafin lalu dipotong sesuai dengan ukurannya dan ditempelkan pada besi
mikrotom. Setelah itu, mikrotom diatur untuk ketebalan 7 μm, pita sayatan yang
terbentuk disimpan di atas baki preparat. Kaca preparat yang akan digunakan
diteteskan terlebih dahulu dengan albumen dan didiamkan selama semalam di dalam
oven 37°C. Kemudian pita sayatan dipotong kecil dan disimpan di atas akuades
tersebut dan ditunggu sampai akuades menguap keseluruhannya dan dibiarkan
sayatan mengembang dan menempel dengan baik. Setelah itu, dilakukan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (HE) untuk mengetahui kualitas dari histologi pankreas yang
diuji. Jika pankreas terlihat jelas dalam pewarnaan HE, maka sayatan pada
lokasi itu dapat dianalisis imunohistokimia lebih lanjut.
7)
Analisis Histokimia (IHC)
Analisis imunohistokimia hanya
dilakukan untuk sayatan yang memperlihatkan Pulau Langerhans dengan jelas. Pada
proses ini menggunakan antibodi primer, Guinea
pig polyclonal to Insulin (Abcam-ab7842) dengan pengenceran 1:50, lalu
antibodi sekunder, Biotinylated goat
anti-guinea pig Ig-G, (Santa Cruz-sc2440) dengan pengenceran 1:100, dan
diakhiri dengan kit imunohistokimia.
8)
Rencana Alur Kegiatan Penelitian
55 Ekor
Mencit Jantan Normal
|