PENYAKIT AUTOIMUN
A.
Pengertian Autoimun
Menurut Baratawidjaya (2006), autoimun adalah respon imun terhadap
antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang
berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi
autoimun ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengeskpresikan reseptor spesifik untuk banyak self antifen.
Autoimun terjadi karena self-antigen
dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif
menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ.
Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis
penyakit autoimun.
Dalam populasi, sekitar 3,5% orang
menderita penyakit autoimun. 94% dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave
(hipertiroidism), diabetes mellitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritis
rheumatoid, tiroiditis, vitiligo dan sclerosis multiple. Penyakit ditemukan
lebih banyak pada wanita (2,7 x dibandingkan pria), diduga karena hormon.
B.
Faktor yang Berperan pada Automunitas
- Infeksi dan
Kemiripan Molekular
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan
dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama
dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut
bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi.
Infeksi virus dan bakteri dapat
berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal,
mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab
mikroba, tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang
rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri
adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok
yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.
- Sequestered Antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena
letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan
untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi
(sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun
yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada
sperma.
- Kegagalan
Autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat
terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar
sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan respon terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila
terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
menimbulkan autoimunitas.
- Aktivasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena
aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat
merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang
dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
- Obat-obatan
Antigen asing dapat diikat oleh
permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel
tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia
merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan obat.
Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas.
Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan
timbul sindroma berupa LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
- Faktor
Keturunan
Penyakit autoimun mempunyai persamaan
predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya
penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya
adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.
C.
Beberapa Penyakit Autoimun
- Penyakit
Graves
a.
Pendahuluan
Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama menemukan
antibodi terhadap
tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit
Hashimoto(1). Pada tahun yang sama Adams dan Purves menemukan pula
stimulator tiroid abnormal pada penderita penyakit Graves yang kerjanya
mirip TSH, disebut sebagai long-acting thyroid stimulator (LATS).
Baru sekitar 20 tahun kemudian diketahui bahwa LATS adalah suatu
autoantibodi yang mampu merangsang reseptor TSH (thyrotropin receptor
antibodies = TRAb) untuk menghasilkan hormon tiroid tiroksin dan
triiodotironin. Pada tahun-tahun berikutnya ditemukan
pula berbagai antibodi antitiroid lainnya.
Penyakit Graves dan Hashimoto merupakan penyakit
tiroid autoimun (Autoimmune Thyroid Disease = AITD; Penyakit Tiroid Autoimun =
PTAI) yang paling sering ditemukan di klinik, tergolong dalam penyakit autoimun
bersifat organ-specific. Varian lain PTAI adalah tiroiditis atrofik, tiroiditis
postpartum, tiroiditis karena obat (drug-induced thyroiditis) seperti
amiodarone dan interferon-α, tiroiditis yang menyertai sindrom autoimun
poliglandular. Sering pula ditemukan antibodi antitiroid (anti-TPO dan anti-Tg)
dalam serum tanpa gejala klinik (2).Temuan-temuan tersebut memunculkan paradigm
baru tentang penyakit autoimun; PTAI yang merupakan penyakit autoimun klasik
sering dijadikan model untuk memahami patogenesis penyakit autoimun organ-specific
lainnya.
b.
Patogenesis PTAI
PTAI adalah penyakit yang kompleks,
dengan faktor penyebab multifactorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel
dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respons autoimun terhadap
antigen tiroid. Walaupun etiologi pasti respons imun tersebut masih belum
diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat
berperan dalam patogenesis PTAI; pada penyakit Graves diperkirakan peran faktor
genetik sekitar 79%, sisanya 21% dari faktor lingkungan(3). Selanjutnya
diketahui pula pada PTAI respons seluler dan humoral bekerja bersamaan dengan
sasaran kelenjar tiroid(2).
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit
T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan
dengan membrane sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid
yg bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang
bertindak sebagai autoantigen (2).
Gambar 1 memperlihatkan secara skematik
mekanisme terjadinya PTAI, diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada
individu yang memiliki gen suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan
autoantigen tiroid menimbulkan penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto atau
pembentukan antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune
thyroid disease).
Gambar 1.Gambar skematik mekanisme
terjadinya PTAI.
Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s :
Thyroid antibodies
Sumber: Tomer Y and Davies TR. Endocrine Reviews 2003;24(5):694-717.(2).
c.
Faktor Genetik
Faktor genetic Gen yg terlibat dalam pathogenesis
PTAI adalah gen yang mengatur respons imun seperti major histocompatibility
complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding)
autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO = thyroid peroxidase, transporter
iodium, TSHR = TSH Receptor. Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte
Antigen-4), HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, thyroglobulin, dan TSHR
(2,4).
CD40, anggota TNF-R receptor berperan
penting dalam aktivasi sel B, menginduksi proliferasi sel B dan sekresi
antibodi. Pada penyakit Graves terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar
tiroid; CD40 merupakan gen yang suseptibel untuk penyakit Graves, yang
diekspresikan dan fungsional di tirosit (5).
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4)
merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen
Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan
peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel
T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada
APC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4,
dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen(2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain, tidak hanya
pada penyakit Graves. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk
PTAI (penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan pembentukan antibodi
antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit
Addison, dan myasthenia gravis(2).
Gambar
2. Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC memunculkan antigen
peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptid ini dikenal oleh reseptor
sel T.
Sumber : Tomer dan Davies. Endocrine
Reviews 2003;24:694-717.
Pada ras Kaukasus penyakit Graves berasosiasi
dengan HLA-B8. Kemudian diketahui bahwa asosiasinya lebih kuat dengan HLA-DR3
yang mempunyai linkage disequilibrium dengan HLA-B8. Pada bangsa Jepang
terdapat asosiasi dengan HLA-B35, pada bangsa Cina dengan HLA-Bw46, dan pada keturunan
Afrika-Amerika dengan HLA DRB3*0202(2). Berbeda dengan penyakit Graves, asosiasi
antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering
kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya
ditemukan antibody antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan
fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid
(struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti
melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada
ras Kaukasus.
Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara
tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9
pada bangsa Cina (2).
d.
Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat
diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, di antaranya:
berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium,
paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi,
mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar
tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria(3). Di samping itu
penggunaan obatobat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H,
juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 1 disajikan beberapa
factor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
Tabel 1. Faktor lingkungan yg terlibat dalam etiologi
PTAI(3)
Berat badan lahir bayi rendah merupakan
faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung khronik;
kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada
kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan
menurunnya sel T supresor. Mungkin ada factor intrauterin tertentu yang
menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama
yang terpapar pada janin untuk terjadinya
PTAI di kemudian hari (3). Asupan iodium
mempengaruhi prevalensi hipo- dan hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering
ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi
Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai
petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang
iodium(3). Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada
penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan
iodium dapat menyebabkan hipotiroidi dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek
Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau
bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi
terjadinya hipertiroidi (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga
terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem
imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu
iodium sebenarnya merupakan pula factor risiko terjadinya PTAI(3).
Selenium merupakan trace element yang
esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino
acid. Selenium mempengaruhi sistem imun; defisiensi selenium akan menyebabkan
individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin
karena limfosit T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium merupakan pula
suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan
penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein
deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid.
Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat
kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di
dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda
adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium
selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada
penderita hipotiroidi subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta
juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (3).
Penyakit autoimun yang organ specific jauh
lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto
5-10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya
belum jelas, tapi faktor genetik termasuk faktor hormonal pasti berperan(3). Stress
mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal
(HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid
mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem
imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan
virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat.
Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali
didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Suatu
penelitian prospektif melaporkan ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria,
depression, paranoia, dan mental fatigue) yang terkait dengan tingkat
kekambuhan penyakit Graves setelah pengobatan antitiroid; kehidupan yang penuh
ketegangan (stress) berkorelasi dengan titer antibodi anti-TSH (TRAb). Belum diketahui
apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (3).
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri
juga berperan dalam pathogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen
infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI (Gambar 3)(6).
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit
jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi
aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2),
dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan
penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan Iodium
radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan radioterapi dan pengobatan
oftalmopatia dengan kortikosteroid (3).
e.
Autoantigen dan autoantibodi tiroid pada
PTAI
PTAI menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler. Kerusakan seluler
terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/ atau autoantibodi
berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat
stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen
spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid
microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Gambar
3. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai pencetus PTAI.
A. Mimikri molekuler antara epitop
antigenik dengan reseptor TSH;
B. Induksi molekul MHC kelas II untuk
mempresentasikan autoantigen oleh
tirosit pada sel T;
C.
Molekul superantigen dibentuk agen infeksi menginduksi sel T autoreaktif.
Sumber : Tomer Y, Davies.TF. Endocrine
Reviews 1993;14(1):107-120 (6).
Gambar 4. Perubahan kadar antibodi
anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid pada PTAI(8).
Masih belum jelas apakah autoantibodi
TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid.
Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu
bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai
petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung pihak beberapa studi
menduga antibody anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi
anti- TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroidi pada
tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik(8). Pada Gambar 4 diperlihatkan perubahan
kadar antibodi anti-TPO yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada
individu dengan predisposisi genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan
dengan bertambahnya waktu (umur)(8).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum
jelas; di daerah cukup iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai
pelengkap penentuan kadar Tg, karena (bila ada) antibodi anti-Tg akan menganggu
metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar
antibodi anti- Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodosa
dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik (8).
Berbeda dengan tiroiditis pada model hewan
coba, respons autoimun terhadap
tiroglobulin - protein yang paling banyak
di kelenjar tiroid (autoantigen) - ternyata tidak penting dalam proses autoimun
pada manusia, Sodium-iodide symporter (NIS = NaI symporter), yang juga diduga
berpotensi sebagai autoantigen, ternyata tidak berperan dalam proses autoimun
(7).
Seperti telah dijelaskan, pada penyakit Graves
terjadi respons humoral terhadap TSHR. Pada keadaan ini autoantibodi yang
bekerja menyerupai TSH, akan mengaktivasi TSHR untuk memproduksi hormon tiroid
secara berlebihan dan menyebabkan hipertiroidi (7). Autoantibodi TSHR dapat bersifat
stimulator (TSAb) yang mengaktivasi TSHR dan blocking (TSBAb) yang menghambat
pengikatan TSH dalam mengaktivasi TSHR (7).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa
konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic
thyroid autoimmunity(9). Contohnya konversi menjadi hipertiroidi Graves pada
penderita yang sebelumnya menderita hipotiroidi karena penyakit Hashimoto, dan
konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves;
beberapa mekanisme mungkin berperan(9). Hipotiroidi setelah pengobatan penyakit
Graves diduga terjadi melalui dua cara yaitu destruksi akibat proses autoimun
dan aktivitas TSBAb yang lebih dominan (10).
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur
antibodi antitiroid, khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon
Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator;
LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating
Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb =
Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody).
Berdasarkan fungsinya antibodi antireseptor TSH dikelompokkan menjadi (11) :
Ø Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI),
meningkatkan sintesis hormon tiroid;
Ø TSI-blocking immunoglobulin, menghambat
TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormone tiroid;
Ø Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI),
terutama merangsang pertumbuhan
sel folikel;
Ø TGI blocking immunoglobulin, menghalangi
TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada
miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi antireseptor
TSH tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar
tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi
fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah
antibodi terhadap koloid kedua (second colloid antigen), antibody terhadap
permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T dan T4,
serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic
immunoglobulin).
f.
Apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+) CD25(+) T regulatory cells akan
merusak (breaks) toleransi host dan
menginduksi produksi abnormal
sitokin yang akan menfasilitasi
apoptosis. Terdapat perbedaan
mekanisme yang memediasi proses
apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada
HT akan terjadi destruksi tirosit
sedangkan apoptosis pada GD akan
mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating
lymphocytes. Perbedaan mekanisme
apoptotik tersebut akan mengakibatkan
dua bentuk respons autotimun berbeda
yang akhirnya akan menimbulkan
manfifestasi tiroiditis Hashimoto
dan penyakit Graves (12).
g.
Sitokin dan PTAI
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respons imun langsung pada sel
(cellmediated immunity). Sebaliknya,
sel Th2 menghasilkan terutama IL-4,
IL-5, dan IL-13 yang akan
mempromosikan respons imun humoral.
Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ
yang mempunyai peranan protektif dan
pemulihan dari penyakit autoimun
(13).
Sitokin dapat meningkatkan reaksi
inflamasi melalui stimulasi sel T
dan B intratiroid dan menginduksi
perubahan pada sel folikel tiroid
termasuk upregulasi MHC kelas I dan
II, serta ekspresi molekul adhesi.
Sitokin juga merangsang sel folikel
tiroid untuk menghasilkan sitokin,
Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin
(PO), yang selanjutnya akan
meningkatkan reaksi inflamasi dan
destruksi jaringan. Molekul ini juga
memodulasi pertumbuhan dan fungsi
sel folikel tiroid, yang secara langsung
akan berimplikasi terhadap disfungsi
tiroid (13).
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi
dan menghasilkan sitokin, yang akan
memperluas proses inflamasi melalui
beberapa mekanisme termasuk
peningkatan MHC kelas II, Heat Shock
Protein (HSP), molekul adhesi, dan
ekspresi TSH-R di jaringan
retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi
fibroblast secara lokal dan membantu
pembentukan sel-sel radang baru,
meningkatkan reaksi inflamasi, serta
juga meningkatkan akumulasi matriks
ekstraseluler di jaringan orbita
melalui efek stimulatorik pada
glycosaminoglycan (GAG) dan produksi
inhibitor metalloproteinase oleh
fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal
di atas, memodulasi produksi sitokin
atau menghambat kerja sitokin di
jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan
untuk menangani oftalmopati yang
sampai saat ini sukar diobati (13).
Pada Tabel 2 dapat dilihat efek
imunologik dan fungsional dari sitokin terhadap
sel folikel tiroid.
h.
Makna klinis penentuan antibody antitiroid
Tiga antibodi yang paling sering
ditentukan kadarnya di klinik adalah TgAb (ATA: anti Tg antibody), TPOAb (anti TPO antibody), dan TRAb
(Thyrotropin Receptor Antibody);
penentuan berbagai antibodi lainnya
lebih bersifat minat akademik. Perlu
diketahui bahwa autoantibodi tiroid
tidak selalu ditemukan dalam serum
penderita PTAI, antara lain
disebabkan oleh sensitivitas metoda
assay. TRAb ditemukan pada sebagian
besar penderita yang pernah atau
sedang menderita penyakit Graves.
Selama kehamilan, karena dapat
melewati sawar plasenta, TRAb
merupakan factor risiko disfungsi
tiroid fetal maupun neonatal.
Prevalensi antibodi antitiroid meningkat
pada penderita penyakit autoimun
organ specific lain seperti DM tipe
1 dan anemia pernisiosa, ser ta juga dengan bertambahnya umur (prevalensi
PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya umur) (8).
Tabel 2. Efek imunologik dan fungsional sitokin
terhadap sel folikel tiroid(13)
Tabel 3. Indikasi penentuan antibody anti-TPO(8)
Tabel 4. Beberapa penyakit yang dilaporkan terkait
dengan PTAI(14).
Antibodi anti-TPO merupakan factor risiko
disfungsi tiroid, termasuk tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat
penggunaan obat-obat tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang
pertama ditemukan pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Walaupun antibodi
terhadap reseptor TSH (TRAb) patognomonik untuk penyakit Graves, antibodi
anti-TPO dan anti-Tg ditemukan juga pada penderita penyakit Graves. Lebih dari
95% penderita tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai
antibodi anti-TPO (8).
Pada Tabel 3 tercantum indikasi
penentuan kadar antibody anti-TPO menurut rekomendasi National Academy of
Clinical Biochemistry (2003) (8). Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama
dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil
pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang
positif akan menganggu penentuan kadar tiroglobulin(8). Antibodi anti-Tg
positif pada penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh
akan menjadi negatif dalam waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya
dapat digunakan sebagai petunjuk awal rekurensi(8).
Penentuan TRAb berguna untuk memastikan etiologi
penyakit Graves, serta untuk memprediksi terjadinya disfungsi tiroid fetal atau
neonatal pada wanita hamil dengan riwayat atau sedang menderita penyakit
Graves. Bila kadar TRAb tinggi selama trimester ke tiga kehamilan, maka ada
risiko disfungsi tiroid pada anak yang akan dilahirkan. TBII receptor assay
sering digunakan untuk mendeteksi hipertiroidi pada neonatus karena mengandung TSAb
(stimulating) dan pada kasus yang jarang, blocking antibodies (TBAb/TSBab) yang
dapat menyebabkan hipotiroidi selintas pada 1:180,000 neonatus. Disarankan
melakukan tes untuk menentukan antibodi yang bersifat stimulator dan blocking
karena ekspresi disfungsi tiroid mungkin berbeda antara ibu dan bayi (8).
i.
PTAI dan penyakit autoimun lain
Beberapa penyakit tertentu dilaporkan terkait
dengan PTAI, walaupun beberapa di antaranya masih controversial (tabel 4). Hubungan
dengan penyakit autoimun lain sudah lama ditengarai, mungkin terjadi karena
adanya kesamaan factor genetik dan patogenesis. Masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk memastikannya.
Beberapa
contoh penyakit yg berhubungan dengan PTAI disampaikan berikut ini.
·
PTAI dan DM tipe 1
Baik penyakit tiroid autoimun maupun diabetes mellitus
tipe 1 (DM1) merupakan penyakit autoimun yang organ specific. DM1 sering
ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit tiroid
autoimun. Perros et al (1995) melaporkan prevalensi disfungsi tiroid pada DM1
sekitar 31.4%, sedangkan pada DM tipe 2 hanya sekitar 6.8%(15). Perlu perhatian
khusus dalam mengelola penderita DM1 yang disertai penyakit tiroid autoimun, karena
disfungsi tiroid juga akan mempengaruhi homeostasis glukosa(15). Disfungsi
tiroid ditemukan pada sekitar 30% wanita DM1 teruta ma
yang berusia tua,
biasanya dalam bentuk
hipotiroidi atrofik primer
dan tiroiditis Hashimoto.
WanitaDM1 juga berrisiko tinggi menderitadisfungsi tiroid postpartum;
tiroiditis post-partum ditemukan 3
kali lebih sering
pada penderita diabetes
dibanding wanita normal (16,17). PTAI dan Interferon-α
Interferon-α
merupakan pengobatan standar
Hepatitis C. Autoimunitas tiroid dilaporkan
merupakan efek samping pengobatan
Interferon-α, dengan kejadian
antara 2.5%-45.3% (18).
Carella menyimpulkan bahwa
(1). tidak ada
autoantibodi tiroid setelah pengobatan interferon-α
merupakan faktor protektif terhadap
terjadinya PTAI beberapa tahun
setelah pengobatan interferon-α
dihentikan; (2). PTAI akibat interferon-α tidak semuanya reversibel karena
beberapa di antaranya menjadi
tiroiditis khronik; (3).
kadar antibodi antitiroid tinggi
pada akhir pengobatan interferon-α
berhubungan dengan risiko terjadinya PTAI khronik; dan,
(4). adanya antibodi
anti-Tg dan anti-TPO secara bersamaan pada akhir pengobatan
interferon-α merupakan faktor
prediktif untuk disfungsi tiroid, walaupun
subklinik, beberapa tahun setelah
IFN-α dihentikan (18).
·
PTAI dan Hepatitis C
Terdapat peningkatan prevalensi PTA pada penderita
hepatitis C. Infeksi virus
hepatitis C dapat
menyebabkan PTAI, mungkin melalui
peningkatan kecenderungan non-spesifik terhadapproses autoimunitas atau
langsung dari infeksi virusnya sendiri (14).
·
PTAI dan Myasthenia Gravis
Dari data penelitian terungkap bahwa10.4% penderita
myasthenia gravis juga menderita
PTAI, dan sekitar 5.4% adalah
penyakit Graves. Myasthenia gravis yang
disertai PTAI dilaporkan mempunyai perjalanan klinik lebih
ringan, lebih sering okuler, frekuensi penyakit timus lebih rendah, serta
frekuensi antibodi reseptor
acetylcholine lebih rendah, menyiratkan
adanya interaksi antara kedua
keadaan. Walaupun datanya masih kontroversial
asumsinya adalah bahwa
prevalensi penyakit Graves
memang meningkat pada myasthenia gravis(14).
·
PTAI dan vitiligo.
Terdapat
hubungan antara PTAI
dengan vitiligo, yang merupakan stigmata
autoimun.
Sejumlah 6.8% penderita PTAI mempunyai
vitiligo, dan 7.8%
penderita vitiligo di Jerman menderita PTAI (14) .
- Lupus
Eritematosis Sistemik
a.
Definisi
Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) digambarkan pertama
kali oleh Cazenave
dan Clausit di tahun
1852. Pada awal
abab ke-20 William Osler dkk
menggambarkan berbagai bentuk klinis
yang melibatkan sendi,
ginjal dan susunan syaraf pusat. Di tahun 1948
Hargreaves pertama kali menemukan sel LE
tetapi antibodi antinuklear
baru ditemukan oleh Friou
dkk dengan bantuan
teknik imunofluoresen di tahun
1957-1958. Penyakit ini terutama
menyerang wanita muda
dengan insiden puncak pada
usia 15-40 tahun
selama masa reproduksi dengan
rasio wanita dan
laki-laki 6-10:1.
SLE
merupakan penyakit autoimun
yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti
sel yang berhubungan
dengan manifestasi klinis yang
luas. Penyakit ini
multi sistim dengan etiologi
dan patogenesis yang
belum jelas. Terdapat banyak
bukti bahwa patogenesis SLE bersifat
multifaktor yang melibatkan
faktor lingkungan, genetik dan
hormonal. Terganggunya mekanisme pengaturan
imun seperti eliminasi
dari sel-sel yang mengalami
apoptosis dan kompleks imun
berperan penting terhadap
terjadinya SLE.
Hilangnya
toleransi imun, banyaknya
antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan
perubahan respon imun
dari Th1 ke Th2
menyebabkan hiperreaktivitas sel
B dan terbentuknya autoantibodi. Autoantibodi
tersebut
ada yang digunakan sebagai petanda
penyakit, ada pula
autoantibodi yang berperan pada
patogenesis dan kerusakan jaringan. Autoantibodi
yang berkaitan dengan patogenesis dan
kerusakan jaringan ini
umumnya berkaitan pula dengan manifestasi klinis.
Metode
pemeriksaan antibodi juga
perlu diperhatikan karena masing-masing metode tersebut mendeteksi antibodi
yang mempunyai isotipe
serta afinitas tertentu yang
berbeda antara metode
satu dengan yang lainya.
Idealnya suatu pemeriksaan bersifat spesifik,
sensitif serta mempunyai
nilai prediksi positif dan
negatif yang tinggi.
Selain itu juga mampu
mencerminkan aktivitas penyakit, berkorelasi dengan
keterlibatan organ/ manifestasi
klinis atau dapat memprediksi kekambuhan. Hingga saat ini
belum ada pemeriksaan
laboratorium yang memenuhi kriteria
tersebut karena peningkatan spesifisitas umumnya
diikuti oleh penurunan sensitivitas, selain
itu beberapa gambaran
klinik pada SLE tidak diperantarai oleh antibodi.
b.
Patogenesis
Diduga
terbentuknya komplek imun
(DNA dan anti-DNA) merupakan
ciri imunopatologis lupus. Antibodi
yang mengikat nukleosum
(DNA dan histon) dapat
terjadi di ginjal
dan membentuk kompleks imun
in situ. Baik
komplek imun yang dibentuk dalam sirkulasi atau insitu
berperan dalam terjadinya kerusakan
ginjal, kulit, pleksus koroid di otak dan jaringan lainnya. SLE ditandai
oleh terjadinya penyimpangan sistem imun yang melibatkan sel
T, sel B dan sel-sel monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel B poliklonal, meningkatnya
jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hypergammaglobulinemia, produksi autoantibodi dan
terbentuknya kompleks imun.
Aktivasi
sel B poliklonal
tersebut akan membentuk antibodi yang
tidak spesifik yang
dapat bereaksi terhadap berbagai
jenis antigen termasuk
antigen tubuh sendiri. Terdapat
bukti bahwa sel
B pasien SLE lebih sensitif
terhadap stimulasi sitokin seperti IL-6.
Jumlah sel B
didapatkan meningkat di
darah tepi pada setiap tahapan aktivasinya.
Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasien SLE diperantarai
oleh interaksi antara
CD4+ dan CD8+ sel
T helper, dan
duoble negative T
cells (CD4- CD8-) dengan
sel B. Terjadi
kegagalan fungsi dari aktivitas supresi
CD8+ sel T suppressor dan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T
dan sel NK pada
pasien SLE tidak
mampu mengatur sintesis dari
imunoglobulin poliklonal dan produksi autoantibodi. Gagalnya
supresi terhadap sel B
mungkin merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan penyakit berlangsung terus.
Pembersihan
(clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagosit-makrofag juga
mengalami gangguan pada SLE
sehingga akan menghambat eliminasi kompleks imun dari
sirkulasi dan jaringan. Hal ini diduga
akibat dari penurunan
jumlah CR1 yang merupakan
reseptor untuk komplemen
dan terjadi gangguan fungsi
dari reseptor pada permukaan sel. Gangguan clearance ini
juga diduga akibat dari ketidakadekuatan fagositosis
IgG2 dan IgG3.
Pada pasien SLE juga ditemukan defek pada produksi
sitokin. Penurunan produksi IL-1 dan IL-2 dapat
berpengaruh terhadap fungsi
sel T dan
sel B. Di
samping itu ditemukan
pula penurunan respon sel Ts terhadap IL-2 yang
mengakibatkan fungsinya menurun
sehingga fungsi sel Th seakan
lebih meningkat. Sebaliknya hiperreaktivitas sel
B dapat disebabkan oleh
hipersensitivitas sel Th
terhadap IL-2.
Saat ini ditemukan
bahwa IL-10 juga memegang peranan penting dalam
patogenesis SLE. IL-10 merupakan
sitokin dari Th2
yang bekerja sebagai stimulasi
yang kuat dari
proliferasi dan diferensiasi sel
B dan mediator
yang penting dari aktivasi
sel B poliklonal
pada SLE. Produksi
IL-10 dan konsentrasi IL-10
plasma lebih tinggi
pada pasien SLE dan
ini berkorelasi dengan
aktivitas penyakit. Pada pasien
SLE juga terjadi
kegagalan dalam produksi IL-12.
Sehingga diduga adanya disregulasi dari
keseimbangan IL-10 dan
IL-12 memegang peranan penting
terhadap gagalnya respon imun
selular pada pasien SLE.Meningkatnya apoptosis pada SLE menyebabkan meningkatnya
kebocoran antigen intraseluler
yang dapat merangsang respon autoimun dan
berpartisipasi dalam pembentukan kompleks imun. Dalam keadaan normal
sel-sel yang mengalami apoptosis akan
dimakan oleh makrofag pada
fase awal dari apoptosis
tanpa merangsang terjadinya inflamasi
dan respon imun. Terjadinya defek pada
clearance dari sel-sel
apoptosis diduga akibat dari
defek dalam jumlah
dan kualitas dari protein
komplemen seperti C2,
C4 atau C1q.
Beberapa
studi menunjukkan bahwa
terjadinya autoantibodi pada SLE
akibat 2 perubahan
mayor yaitu meningkatnya apoptosis
limfosit dan monosit dalam
sirkulasi dan kesalahan
dalam pengenalan autoantigen yang
dilepaskan selama apoptosis.
Gambar 5. Patogenesis SLE
c.
Autoantibodi pada SLE
Autoantibodi merupakan bagian integral dari proses
klasifikasi dan deteksi
beberapa penyakit yang diperantarai oleh autoimun. Antibodi antinuklear (ANA) ditemukan
40 tahun yang
lalu dan diduga terdapat
kaitan yang erat
dengan SLE. Antibodi
antinuklear bukan hanya
merupakan satu jenis antibodi,
tetapi terdapat berbagai antibodi yang berbeda
yang berkaitan dengan
penyakit dan manifestasinya. ANA
adalah antibodi terhadap inti sel baik
membran inti maupun DNA. Target antigen sangat heterogen dan bervariasi dalam satu
penyakit. Bervariasinya peranan biologi
dari berbagai antibodi antinuklear
maka tidak mungkin memperkirakan outcome klinis pasien
hanya berdasarkan profil autoantibodi saja.
Beberapa
antibodi antinuklear (ANA) dikatakan spesifik
berkaitan
dengan
manifestasi klinis aktivitas SLE dapat dilihat pada tabel.
Tabel 5. Antinuklear Antibodi Spesifik
ANA tes merupakan
penapisan awal yang efektif
pada pasien dengan
gambaran klinis SLE. Lebih lanjut pada pasien dengan ANA positif perlu dilakukan pemeriksaan
jenis autoantibodi yang lebih
spesifik seperti anti-dsDNA.
Pada kriteria diagnosis SLE
menurut ACR 1982
disebutkan titer abnormal ANA
tetapi tidak disebutkan
nilai batas tersebut. Secara
umum bisa dikatakan
semakin tinggi titer ANA semakin berarti
terutama pada pasien muda.
Apabila ANA negatif
maka kemungkinan SLE sangat
kecil. ANA negatif didapatkan pada
2% pasien SLE
dengan metode pemeriksaan yang
saat ini ada
yaitu yang menggunakan human
tissue culture cell
sebagai subtrat, sedang apabila dengan menggunakan rodent tissue subrate,
SLE dengan ANA
negatif bisa sampai 5%.
Pada pasien SLE
dengan ANA negatif ini
ternyata apabila diperiksa
dengan ELISA yang sensitif
didapatkan anti Ro dan La
positif hampir 100% .
Pada SLE yang
sebelumnya ANA positif bisa
menjadi negatif saat remisi. Hal ini didapatkan pada 10-20
kasus terutama pasien
yang mengalami gagal ginjal.
Menghilangnya ANA pada pasien yang sebelumnya
positif tidak bisa
diasumsikan bahwa perjalanan SLE
sudah selesai. Hingga saat ini belum diketahui kaitan antara tingginya titer ANA dengan
manifestasi klinis, aktivitas
penyakit maupun kecendrungan untuk
terjadi kekambuhan. Metode pemeriksaan yang
sering digunakan untuk pemeriksaan ANA
adalah indirect immunofluorescence
dan ELISA. ANA yang paling memiliki
makna klinis adalah IgG.
Antibodi
antinuklear juga positif
pada sebagian kasus sindrom sjogren, scleroderma, mixed connective-tissue
disease dan SLE yang diakibatkan oleh
obat. Beberapa penyakit
non rheumatik yang juga
sering menunjukkan tes
yang positif terhadap antibodi antinuklear
meliputi penyakit infeksi seperti HIV,
hepatitis virus. Penyakit
tiroid oleh karena autoimun
misalnya graves disease, hashimoto thyroiditis.
Tabel 6. ANA
positif pada beberapa
penyakit reumatik autoimun dan kondisi lain.
ANA tes yang
positif pada pasien
tanpa gejala klinis SLE
memerllukan interpretasi yang hati-hati. Dilakukannya
skrening asimptomatik lebih sering
memberi hasil yang
false positif daripada true
positif dan tidak
memberikan perbaikan outcome klinis
dan sebagian besar
dari mereka ternyata tidak pernah menjadi SLE. Sampai saat
ini masih belum
jelas bagaimana memperkirakan
bahwa orang dengan hasil tes ANA positif
tanpa gejala klinis
yang cukup akan berkembang menjadi
SLE dan tidak
ada terapi spesifik yang dapat
dilakukan untuk pencegahan.
- Sindrom Sjorgenn
Sindrom Sjogren atau
sering disebut autoimmune exocrinopathy
adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer
eksokrin dan biasanya memberikan gejala
kekeringan persisten pada
mulut dan mata
akibat gangguan fungsional
kelenjer saliva dan lakrimalis. Sindrom Sjogren diklasifikasikan sebagai
Sindrom Sjogren Primer bila tidak
berkaitan dengan penyakit
autoimun sistemik dan Sindrom
Sjogren Sekunder bila berkaitan
dengan penyakit autoimun
sistemik lain dan
yang paling sering
adalah Artritis Reumatoid, SLE dan Sklerosis Sistemik. Sindrom Sjogren
Primer paling banyak ditemukan sedangkan Sindrom Sjogren Sekunder hanya 30 %
kejadiannya.1
Sindrom Sjogren
bisa dijumpai pada
semua umur, sering
umur 40-60 tahun terutama perempuan
dengan perbandingan perempuan
dengan pria 9:1.
Sampai saat ini prevalensinya belum
diketahui dengan pasti,
diperkirakan prevalensi Sindrom
Sjogren sekitar 0,1 – 0,6 %
karena seringnya sindrom
ini bertumpang tindih
dengan penyakit rematik lainnya.
Selain itu gejala
klinik yang muncul
pada awal penyakit
sering tak spesifik, di
Amerika diperkirakan penderita
Sindrom Sjogren sekitar
2-4 juta orang, hanya lima puluh persen saja yang
tidak tegak diagnosanya dan hampir 60 % ditemukan bersamaan dengan
penyakit autoimun lainnya
antara lain Artritis
rematoid, SLE dan Sklerosis Sistemik.2
Sindrom Sjogren pertama kali
dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880, kemudian
Sjogren di Swedia
tahun 1933 melaporkan
bahwa Sindrom Sjogren terkait dengan poliartritis dan
penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi
anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B). Sinonim
antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome, Sicca
Syndrome dan autoimmune exocrinopathy 1.2
Etiologi Sindrom
Sjogren sampai saat
ini masih belum
diketahui. Terdapat peranan faktor
genetik dan non
genetik pada patogenesis
Sindrom Sjogren. Dilaporkan adanya kaitan antara Sindrom Sjogren
dengan HLA DR dan DQ.
- Defenisi
Sindrom Sjogren atau
sering disebut autoimmune exocrinopathy
adalah penyak autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin
dan biasanya memberikan gejala
kekeringan persisten dari
mulut dan mata akibat gangguan
fungsional kelenjar saliva dan
lakrimalis.
- Etiologi
Etiologi Sindrom
Sjogren sampai saat
ini masih belum
diketahui. Terdapat peranan faktor
genetik dan non
genetik pada patogenesis
Sindrom Sjogren. Dilapork adanya kaitan antara Sindrom Sjogren
dengan HLA DR dan DQ. Kaitan antara HLA dan Sindrom Sjogren
didapatkan hanya pada
pasien yang meliputi
antibodi anti SS-A d
atau anti SS-B.
Diperkirakan terdapat peranan
infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsack HIV dan HCV ) pada patogenesis
Sindrom Sjogren.
- Patofisiologi
Reaksi imunologi
yang mendasari patofisiologi
Sindrom Sjogren tidak
hanya sistim imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti
keterlibatan sistim humoral ini dapat
dilihat adanya hipergammaglobulin dan
terbentuknya autoantibodi yang
berada dalam sirkulasi.
Gambaran histopatologi
yang dijumpai pada SS adalah
kelenjer eksokrin yang dipenuhi
dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar kelenjer dan
atau duktus, gambaran histopatologi ini
dapat ditemui dikelenjer saliva, lakrimalis
serta kelenjer eksokrin yang
lainnya misalnya kulit,
saluran nafas, saluran
cerna dan vagina.
Fenotip limfosit
T yang mendominasi
adalah sel T CD 4
+. Sel-sel ini
memproduksi berbagai
interleukin antara lain IL-2,
IL-4, IL-6, IL1 A dan TNF
alfa sitokin-sitokin ini merubah
sel epitel dan
mempresentasikan protein, merangsang
apoptosis sel epitel kelenjer melalui
regulasi fas. Sel
B selain mengfiltrasi
pada kelenjer, sel
ini juga memproduksi
imunoglobulin dan autoantibodi.
Adanya infiltrasi
limfosit yang menganti
sel epitel kelenjer
eksokrin, menyebabkan penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjer
saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Peradangan pada
kelenjer eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjer.
Gambaran serologi
yang didapatkan pada
SS biasanyan suatu
gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan imonuglobulin antara lain
faktor reumatoid, ANA dan antibodi
non spesifik organ.
Pada pemeriksaan dengan
teknik imunofloresen Tes
ANA menunjukan gambaran spekled
yang artinya bila
diekstrak lagi maka
akan dijumpai autoantibodi Ro dan
La.
Adanya antibodi
Ro dan anti
La ini dihubungkan
dengan gejala awal
penyakit, lama penyakit, pembesaran
kelenjer parotis yang
berulang, splenomegali,
limfadenopati dan anti La sering
dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjer eksokrin minor. Faktor genetik,
infeksi, hormonal serta
psikologis diduga berperan
terhadap patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi.
Gambar. 6 Mulut Kering pada
Penderita
Gambar 7. Pembesaran
Kelenjar Parotis Penderita
DAFTAR PUSTAKA
Amino N. Autoimmunity and
hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab 1988;2(3):591-617.
Baratawidjaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi
Dasar. Universitas Indonesia Press.
Campbell PN, Doniach D,
Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s disease (lymphadenoid
goiter). Lancet 1956;271(6947):820- 821.
Carella C, Maziotti G,
Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et al. Long-Term outcome of
interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity and prognostic influence of
thyroid autoantibody pattern at the end of treatment. J Clin Endocrinol Metab
2001;86;1925-1929.
Isbagio
H, Albar Z, Kasjmir YI,
Setiyohadi B. Lupus eritematosus
sistemik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu
penyakit dalam, 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1224-35.
Jacobson EM, Tomer Y. The
CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor, and PTPN22
gene quintet and its
contribution to thyroid autoimmunity : back to the future. J Autoimmun
2007;28:85-98.
Munoz
LE, Gaipl US,
Franz S, Sheriff
A, Voll RE, Kalden
JR, Herrmann M.
SLE-a disease of clearance
deficiency ? Rheumatology 2005;44:1101-07.
Mok
C, Lau S.
Pathogenesis of systemic
lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003;56:481-90.
Ludgate M, Emerson CH.
Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid 2008;18(10):1035- 1037.
Jenkins RC, Weetman AP.
Disease associations with autoimmune thyroid disease. Thyroid
2002;12(11):977-988.
Perros P, McCrimmon R, Shaw
G, Frier B. Frequency of thyroid dysfunction in diabetic patients; value of
annual screening. Diabet Med 1995;7:622-627
Gerstein HC. Incidence of
postpartum thyroid dysfunction in patients with Type 1 diabetes
mellitus. Ann Intern Med
1993;118(6):419-423.
Rengganis
I. Tatalaksana holistik
SLE. In: Setiati S,
Alwi I, Kolopaking
MS, Chen K,
editors.
Current diagnosis and
treatment in internal medicine.
Jakarta: Pusat Informasi
dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2004.p.1-11.
Ridgway EC, Tomer Y,
McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin Endocrinol Metab
2007;92:3755-3761.
Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity.
J Clin Invest 2001;108:1253-1259
Sumariyono.Diagnosis dan
tatalaksana Sindrom sjogren.
Kumpulan makalah temu
ilmiah
Reumatologi.2008:134-136.
Tomer Y, Davies TF.
Searching for the autoimmune disease susceptibility genes : from gene
mapping to gene function.
Endocrine Rev 2003;24(5):694-717.
Van Ouwerkerk BM, Krening
EP, Docter R, Benner R, Hennemann G. Autoimmunity of
thyroid disease. With
emphasis on Graves’ disease. Neth J Med 1985;28:
Wang SH, Baker JR. The role
of apoptosis in thyroid autoimmunity.Thyroid 2007;17(10):975-9.
Weetman AP, Ajjan RA.
Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot Thyroidology. www. hotthyroidology.com.
June 1, 2002.
Wu P. Thyroid disease and
diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.
Yuliasih. Sindrom
sjogren. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam.jilid
II edisi IV.
Pusat
Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.
Sekedar sharing, siapa tahu banyak yang membutuhkan. Istri saya pernah menderita Rheumatoid Arthritsis (RA) selama 2 tahun. RA adalah salah satu bentuk penyakit autoimun, dimana kekebalan tubuh (antibodi) yang seharusnya melindungi tubuh, malah menyerang tubuh kita sendiri. Selama 2 tahun itu berobat ke RS. Namun karena belum ada obatnya, maka hanya dikasih obat sekedar untuk pengendalian saja. Kalau pas lagi kambuh (flare), saya sangat iba dan ikut kasihan merasakannya. Semua persendiannya meradang kemerahan, nyeri, demam tinggi, tubuhnya bengkak, kaki mengalami edema (penumpukan cairan), disertai muncul bercak2 kemerahan di kulit kakinya. Saya berusaha menemukan ”obat”nya. Alhamdiulillah. tak sengaja saya menemukan informasi dihttp://www.transferfactorresearch.com dan mulai secara rutin mengkonsumsinya. Kini istri saya sudah sehat, segar bugar, dan kembali normal seperti sedia kala. Semoga informasi ini bermanfaat. Molekul pintar tersebut juga telah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit autoimun lainnya seperti Lupus, Systemic Schlerosis, Antiphospholipid Syndrome, Myastenia Gravis, Alergi, Diabetes, Autism, bahkan dikabarkan juga mampu menyembuhkan HIV-AIDS, dll. Sebagai ungkapan syukurnya, kami menyediakan diri untuk berbagi pengalaman dan bisa dihubungi di 0811 2829 44 atau datang langsung ke rumah kami : Yahya Firsad, Jl. Wonosari Km 8 Perum Cepoko Indah Blok C-07 Yogyakarta).
BalasHapus