Powered By Blogger

GLamee Story of Aizee


Sabtu, 21 April 2012

Penyakit Autoimun


PENYAKIT AUTOIMUN

A.     Pengertian Autoimun
Menurut Baratawidjaya (2006), autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan reseptor spesifik untuk banyak self antifen.
Autoimun terjadi karena self-antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun.
Dalam populasi, sekitar 3,5% orang menderita penyakit autoimun. 94% dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes mellitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo dan sclerosis multiple. Penyakit ditemukan lebih banyak pada wanita (2,7 x dibandingkan pria), diduga karena hormon.

B.     Faktor yang Berperan pada Automunitas
  1. Infeksi dan Kemiripan Molekular
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.  


  1. Sequestered Antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada sperma.
  1. Kegagalan Autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan respon terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
  1. Aktivasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
  1. Obat-obatan
Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
  1. Faktor Keturunan
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.



C.     Beberapa Penyakit Autoimun
  1. Penyakit Graves
a.      Pendahuluan
Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimoto(1). Pada tahun yang sama Adams dan Purves menemukan pula stimulator tiroid abnormal pada penderita penyakit Graves yang kerjanya mirip TSH, disebut sebagai long-acting thyroid stimulator (LATS). Baru sekitar 20 tahun kemudian diketahui bahwa LATS adalah suatu autoantibodi yang mampu merangsang reseptor TSH (thyrotropin receptor antibodies = TRAb) untuk menghasilkan hormon tiroid tiroksin dan triiodotironin. Pada tahun-tahun berikutnya ditemukan pula berbagai antibodi antitiroid lainnya.
Penyakit Graves dan Hashimoto merupakan penyakit tiroid autoimun (Autoimmune Thyroid Disease = AITD; Penyakit Tiroid Autoimun = PTAI) yang paling sering ditemukan di klinik, tergolong dalam penyakit autoimun bersifat organ-specific. Varian lain PTAI adalah tiroiditis atrofik, tiroiditis postpartum, tiroiditis karena obat (drug-induced thyroiditis) seperti amiodarone dan interferon-α, tiroiditis yang menyertai sindrom autoimun poliglandular. Sering pula ditemukan antibodi antitiroid (anti-TPO dan anti-Tg) dalam serum tanpa gejala klinik (2).Temuan-temuan tersebut memunculkan paradigm baru tentang penyakit autoimun; PTAI yang merupakan penyakit autoimun klasik sering dijadikan model untuk memahami patogenesis penyakit autoimun organ-specific lainnya.
b.      Patogenesis PTAI
PTAI adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifactorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respons autoimun terhadap antigen tiroid. Walaupun etiologi pasti respons imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI; pada penyakit Graves diperkirakan peran faktor genetik sekitar 79%, sisanya 21% dari faktor lingkungan(3). Selanjutnya diketahui pula pada PTAI respons seluler dan humoral bekerja bersamaan dengan sasaran kelenjar tiroid(2).
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membrane sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yg bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (2).
Gambar 1 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI, diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto atau pembentukan antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).
 












Gambar 1.Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.
Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s : Thyroid antibodies
Sumber: Tomer Y and Davies TR. Endocrine Reviews 2003;24(5):694-717.(2).

c.       Faktor Genetik
Faktor genetic Gen yg terlibat dalam pathogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respons imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO = thyroid peroxidase, transporter iodium, TSHR = TSH Receptor. Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, thyroglobulin, dan TSHR (2,4).
CD40, anggota TNF-R receptor berperan penting dalam aktivasi sel B, menginduksi proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Pada penyakit Graves terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar tiroid; CD40 merupakan gen yang suseptibel untuk penyakit Graves, yang diekspresikan dan fungsional di tirosit (5).
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada APC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen(2). CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain, tidak hanya pada penyakit Graves. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis(2).

 












Gambar 2. Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC memunculkan antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptid ini dikenal oleh reseptor sel T.
Sumber : Tomer dan Davies. Endocrine Reviews 2003;24:694-717.

Pada ras Kaukasus penyakit Graves berasosiasi dengan HLA-B8. Kemudian diketahui bahwa asosiasinya lebih kuat dengan HLA-DR3 yang mempunyai linkage disequilibrium dengan HLA-B8. Pada bangsa Jepang terdapat asosiasi dengan HLA-B35, pada bangsa Cina dengan HLA-Bw46, dan pada keturunan Afrika-Amerika dengan HLA DRB3*0202(2). Berbeda dengan penyakit Graves, asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibody antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus.
Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina (2).
d.      Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, di antaranya: berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria(3). Di samping itu penggunaan obatobat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 1 disajikan beberapa factor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
Tabel 1. Faktor lingkungan yg terlibat dalam etiologi PTAI(3)











Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung khronik; kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada factor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya
PTAI di kemudian hari (3). Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipo- dan hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium(3). Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroidi dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroidi (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula factor risiko terjadinya PTAI(3).
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun; defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium merupakan pula suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroidi subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (3).
Penyakit autoimun yang organ specific jauh lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto 5-10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya belum jelas, tapi faktor genetik termasuk faktor hormonal pasti berperan(3). Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Suatu penelitian prospektif melaporkan ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria, depression, paranoia, dan mental fatigue) yang terkait dengan tingkat kekambuhan penyakit Graves setelah pengobatan antitiroid; kehidupan yang penuh ketegangan (stress) berkorelasi dengan titer antibodi anti-TSH (TRAb). Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (3).
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam pathogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI (Gambar 3)(6).
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan Iodium radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan radioterapi dan pengobatan oftalmopatia dengan kortikosteroid (3).
e.       Autoantigen dan autoantibodi tiroid pada PTAI
PTAI menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler. Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/ atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
 











Gambar 3. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai pencetus PTAI.
A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh
tirosit pada sel T;
C. Molekul superantigen dibentuk agen infeksi menginduksi sel T  autoreaktif.
Sumber : Tomer Y, Davies.TF. Endocrine Reviews 1993;14(1):107-120 (6).
 












Gambar 4. Perubahan kadar antibodi anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid pada PTAI(8).
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung pihak beberapa studi menduga antibody anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti- TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroidi pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik(8). Pada Gambar 4 diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-TPO yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan predisposisi genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan bertambahnya waktu (umur)(8).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena (bila ada) antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti- Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodosa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik (8).
Berbeda dengan tiroiditis pada model hewan coba, respons autoimun terhadap
tiroglobulin - protein yang paling banyak di kelenjar tiroid (autoantigen) - ternyata tidak penting dalam proses autoimun pada manusia, Sodium-iodide symporter (NIS = NaI symporter), yang juga diduga berpotensi sebagai autoantigen, ternyata tidak berperan dalam proses autoimun (7).
Seperti telah dijelaskan, pada penyakit Graves terjadi respons humoral terhadap TSHR. Pada keadaan ini autoantibodi yang bekerja menyerupai TSH, akan mengaktivasi TSHR untuk memproduksi hormon tiroid secara berlebihan dan menyebabkan hipertiroidi (7). Autoantibodi TSHR dapat bersifat stimulator (TSAb) yang mengaktivasi TSHR dan blocking (TSBAb) yang menghambat pengikatan TSH dalam mengaktivasi TSHR (7).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity(9). Contohnya konversi menjadi hipertiroidi Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroidi karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan(9). Hipotiroidi setelah pengobatan penyakit Graves diduga terjadi melalui dua cara yaitu destruksi akibat proses autoimun dan aktivitas TSBAb yang lebih dominan (10).
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi antireseptor TSH dikelompokkan menjadi (11) :
Ø  Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
Ø  TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormone tiroid;
Ø  Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan
sel folikel;
Ø  TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi antireseptor TSH tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second colloid antigen), antibody terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).
f.       Apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+) CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manfifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves (12).
g.      Sitokin dan PTAI
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respons imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun (13).
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid (13).
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati (13). Pada Tabel 2 dapat dilihat efek imunologik dan fungsional dari sitokin terhadap sel folikel tiroid.
h.      Makna klinis penentuan antibody antitiroid
Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah TgAb (ATA: anti Tg antibody), TPOAb (anti TPO antibody), dan TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody); penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan dalam serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda assay. TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar plasenta, TRAb merupakan factor risiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal. Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, ser ta juga dengan bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya umur) (8).
Tabel 2. Efek imunologik dan fungsional sitokin terhadap sel folikel tiroid(13)







Tabel 3. Indikasi penentuan antibody anti-TPO(8)







Tabel 4. Beberapa penyakit yang dilaporkan terkait dengan PTAI(14).








Antibodi anti-TPO merupakan factor risiko disfungsi tiroid, termasuk tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Walaupun antibodi terhadap reseptor TSH (TRAb) patognomonik untuk penyakit Graves, antibodi anti-TPO dan anti-Tg ditemukan juga pada penderita penyakit Graves. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (8).
Pada Tabel 3 tercantum indikasi penentuan kadar antibody anti-TPO menurut rekomendasi National Academy of Clinical Biochemistry (2003) (8). Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu penentuan kadar tiroglobulin(8). Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai petunjuk awal rekurensi(8).
Penentuan TRAb berguna untuk memastikan etiologi penyakit Graves, serta untuk memprediksi terjadinya disfungsi tiroid fetal atau neonatal pada wanita hamil dengan riwayat atau sedang menderita penyakit Graves. Bila kadar TRAb tinggi selama trimester ke tiga kehamilan, maka ada risiko disfungsi tiroid pada anak yang akan dilahirkan. TBII receptor assay sering digunakan untuk mendeteksi hipertiroidi pada neonatus karena mengandung TSAb (stimulating) dan pada kasus yang jarang, blocking antibodies (TBAb/TSBab) yang dapat menyebabkan hipotiroidi selintas pada 1:180,000 neonatus. Disarankan melakukan tes untuk menentukan antibodi yang bersifat stimulator dan blocking karena ekspresi disfungsi tiroid mungkin berbeda antara ibu dan bayi (8).
i.        PTAI dan penyakit autoimun lain
Beberapa penyakit tertentu dilaporkan terkait dengan PTAI, walaupun beberapa di antaranya masih controversial (tabel 4). Hubungan dengan penyakit autoimun lain sudah lama ditengarai, mungkin terjadi karena adanya kesamaan factor genetik dan patogenesis. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikannya.
Beberapa contoh penyakit yg berhubungan dengan PTAI disampaikan berikut ini.
·         PTAI dan DM tipe 1
Baik penyakit tiroid autoimun maupun diabetes mellitus tipe 1 (DM1) merupakan penyakit autoimun yang organ specific. DM1 sering ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit tiroid autoimun. Perros et al (1995) melaporkan prevalensi disfungsi tiroid pada DM1 sekitar 31.4%, sedangkan pada DM tipe 2 hanya sekitar 6.8%(15). Perlu perhatian khusus dalam mengelola penderita DM1 yang disertai penyakit tiroid autoimun, karena disfungsi tiroid juga akan mempengaruhi homeostasis glukosa(15). Disfungsi tiroid ditemukan pada sekitar 30% wanita DM1 teruta ma  yang  berusia  tua,  biasanya  dalam  bentuk  hipotiroidi  atrofik  primer  dan  tiroiditis Hashimoto. WanitaDM1 juga berrisiko tinggi menderitadisfungsi tiroid postpartum; tiroiditis post-partum  ditemukan  3  kali  lebih  sering  pada  penderita  diabetes  dibanding  wanita  normal (16,17). PTAI dan Interferon-α
Interferon-α  merupakan  pengobatan  standar  Hepatitis  C.  Autoimunitas tiroid  dilaporkan  merupakan  efek samping  pengobatan  Interferon-α,  dengan  kejadian  antara  2.5%-45.3%  (18).  Carella  menyimpulkan  bahwa  (1).  tidak  ada  autoantibodi  tiroid  setelah pengobatan  interferon-α  merupakan faktor  protektif  terhadap  terjadinya PTAI  beberapa  tahun  setelah  pengobatan interferon-α dihentikan; (2). PTAI akibat interferon-α tidak semuanya reversibel karena beberapa di antaranya menjadi  tiroiditis  khronik;  (3).  kadar antibodi  antitiroid  tinggi  pada  akhir pengobatan  interferon-α  berhubungan dengan risiko terjadinya PTAI khronik;  dan,  (4).  adanya  antibodi  anti-Tg dan anti-TPO secara bersamaan pada akhir  pengobatan  interferon-α  merupakan  faktor  prediktif  untuk  disfungsi tiroid,  walaupun  subklinik,  beberapa tahun setelah IFN-α dihentikan (18).
·         PTAI dan Hepatitis C
Terdapat peningkatan prevalensi PTA pada penderita hepatitis C. Infeksi virus  hepatitis  C  dapat  menyebabkan PTAI,  mungkin  melalui  peningkatan kecenderungan non-spesifik terhadapproses  autoimunitas  atau  langsung dari infeksi virusnya sendiri (14).
·         PTAI dan Myasthenia Gravis
Dari data penelitian terungkap bahwa10.4%  penderita  myasthenia  gravis juga menderita PTAI, dan sekitar 5.4% adalah  penyakit  Graves.  Myasthenia gravis  yang  disertai  PTAI  dilaporkan mempunyai perjalanan klinik lebih ringan, lebih sering okuler, frekuensi penyakit timus lebih rendah, serta frekuensi  antibodi  reseptor  acetylcholine lebih  rendah,  menyiratkan  adanya  interaksi antara kedua keadaan. Walaupun  datanya  masih  kontroversial asumsinya  adalah  bahwa  prevalensi  penyakit  Graves  memang  meningkat  pada myasthenia gravis(14).
·         PTAI dan vitiligo.
Terdapat  hubungan  antara  PTAI  dengan vitiligo, yang merupakan stigmata
autoimun.  Sejumlah  6.8%  penderita PTAI  mempunyai  vitiligo,  dan  7.8%
penderita vitiligo di Jerman menderita PTAI (14) .
  1. Lupus Eritematosis Sistemik
a.      Definisi
Systemic  Lupus  Erythematosus  (SLE) digambarkan  pertama  kali  oleh  Cazenave  dan Clausit  di  tahun  1852.  Pada  awal  abab  ke-20 William Osler dkk menggambarkan berbagai bentuk klinis  yang  melibatkan  sendi,  ginjal  dan  susunan syaraf pusat. Di tahun 1948 Hargreaves pertama kali menemukan  sel  LE  tetapi  antibodi  antinuklear  baru ditemukan  oleh  Friou  dkk  dengan  bantuan  teknik imunofluoresen  di  tahun  1957-1958.  Penyakit  ini terutama  menyerang  wanita  muda  dengan  insiden puncak  pada  usia  15-40  tahun  selama  masa reproduksi  dengan  rasio  wanita  dan  laki-laki  6-10:1.
SLE  merupakan  penyakit  autoimun  yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen  inti  sel  yang  berhubungan  dengan manifestasi  klinis  yang  luas.  Penyakit  ini  multi sistim  dengan  etiologi  dan  patogenesis  yang  belum jelas.  Terdapat  banyak  bukti  bahwa  patogenesis SLE  bersifat  multifaktor  yang  melibatkan  faktor lingkungan,  genetik  dan  hormonal.  Terganggunya mekanisme  pengaturan  imun  seperti  eliminasi  dari sel-sel  yang  mengalami  apoptosis  dan  kompleks imun  berperan  penting  terhadap  terjadinya  SLE.
Hilangnya  toleransi  imun,  banyaknya  antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B  dan  perubahan  respon  imun  dari  Th1  ke  Th2 menyebabkan  hiperreaktivitas  sel  B  dan terbentuknya autoantibodi. Autoantibodi  tersebut  ada  yang  digunakan sebagai  petanda  penyakit,  ada  pula  autoantibodi yang  berperan  pada  patogenesis  dan  kerusakan jaringan.  Autoantibodi  yang  berkaitan  dengan patogenesis  dan  kerusakan  jaringan  ini  umumnya berkaitan pula dengan manifestasi klinis.
Metode  pemeriksaan  antibodi  juga  perlu diperhatikan karena masing-masing metode tersebut mendeteksi  antibodi  yang  mempunyai  isotipe  serta afinitas  tertentu  yang  berbeda  antara  metode  satu dengan  yang  lainya.  Idealnya  suatu  pemeriksaan bersifat  spesifik,  sensitif  serta  mempunyai  nilai prediksi  positif  dan  negatif  yang  tinggi.  Selain  itu juga  mampu  mencerminkan  aktivitas  penyakit, berkorelasi  dengan  keterlibatan  organ/ manifestasi klinis atau dapat memprediksi kekambuhan. Hingga saat  ini  belum  ada  pemeriksaan  laboratorium  yang memenuhi  kriteria  tersebut  karena  peningkatan spesifisitas    umumnya  diikuti  oleh  penurunan sensitivitas,  selain  itu  beberapa  gambaran  klinik pada SLE tidak diperantarai oleh antibodi.
b.      Patogenesis
Diduga  terbentuknya  komplek  imun  (DNA dan  anti-DNA)  merupakan  ciri  imunopatologis lupus.  Antibodi  yang  mengikat  nukleosum  (DNA dan  histon)  dapat  terjadi  di  ginjal  dan  membentuk kompleks  imun  in  situ.  Baik  komplek  imun  yang dibentuk dalam sirkulasi atau insitu berperan dalam terjadinya kerusakan  ginjal, kulit, pleksus koroid di otak dan jaringan lainnya. SLE  ditandai  oleh  terjadinya  penyimpangan sistem imun yang melibatkan sel T, sel B dan sel-sel monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel B poliklonal, meningkatnya jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hypergammaglobulinemia,  produksi autoantibodi  dan  terbentuknya  kompleks  imun.
Aktivasi  sel  B  poliklonal  tersebut  akan  membentuk antibodi  yang  tidak  spesifik  yang  dapat  bereaksi terhadap  berbagai  jenis  antigen  termasuk  antigen tubuh  sendiri.  Terdapat  bukti  bahwa  sel  B  pasien SLE lebih sensitif terhadap stimulasi sitokin seperti IL-6.  Jumlah  sel  B  didapatkan  meningkat  di  darah tepi pada setiap tahapan aktivasinya.
Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasien SLE  diperantarai  oleh  interaksi  antara  CD4+  dan CD8+  sel  T  helper,  dan  duoble  negative  T  cells (CD4-  CD8-)  dengan  sel  B.  Terjadi  kegagalan fungsi dari aktivitas supresi  CD8+ sel T suppressor dan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T dan sel  NK  pada  pasien  SLE    tidak  mampu  mengatur sintesis dari imunoglobulin poliklonal dan produksi autoantibodi.  Gagalnya  supresi  terhadap  sel  B mungkin  merupakan  salah  satu  faktor  yang menyebabkan penyakit berlangsung terus.
Pembersihan  (clearance)  dari  kompleks  imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami gangguan  pada  SLE  sehingga  akan  menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan. Hal  ini  diduga  akibat    dari  penurunan  jumlah  CR1 yang  merupakan  reseptor  untuk  komplemen  dan terjadi  gangguan  fungsi  dari  reseptor  pada permukaan sel. Gangguan clearance ini juga diduga akibat  dari    ketidakadekuatan  fagositosis  IgG2  dan IgG3.
Pada pasien SLE juga ditemukan defek pada produksi sitokin. Penurunan produksi IL-1 dan IL-2 dapat  berpengaruh  terhadap  fungsi  sel  T  dan  sel  B.  Di  samping  itu  ditemukan  pula  penurunan  respon sel Ts terhadap IL-2 yang mengakibatkan fungsinya menurun  sehingga  fungsi  sel  Th  seakan  lebih meningkat.  Sebaliknya  hiperreaktivitas  sel  B  dapat disebabkan  oleh  hipersensitivitas  sel  Th  terhadap IL-2.
Saat  ini  ditemukan  bahwa  IL-10  juga memegang peranan penting dalam patogenesis SLE.  IL-10  merupakan  sitokin  dari  Th2  yang  bekerja sebagai  stimulasi  yang  kuat  dari  proliferasi  dan diferensiasi  sel  B  dan  mediator  yang  penting  dari aktivasi  sel  B  poliklonal  pada  SLE.  Produksi  IL-10 dan  konsentrasi  IL-10  plasma  lebih  tinggi  pada pasien  SLE  dan  ini  berkorelasi  dengan  aktivitas penyakit.  Pada  pasien  SLE  juga  terjadi  kegagalan dalam  produksi  IL-12.  Sehingga  diduga  adanya disregulasi  dari  keseimbangan  IL-10  dan  IL-12 memegang  peranan  penting  terhadap  gagalnya respon imun selular pada pasien SLE.Meningkatnya apoptosis pada SLE menyebabkan  meningkatnya  kebocoran  antigen intraseluler yang dapat  merangsang  respon autoimun  dan  berpartisipasi dalam pembentukan kompleks imun. Dalam keadaan normal sel-sel yang mengalami  apoptosis  akan  dimakan  oleh  makrofag pada  fase  awal dari  apoptosis  tanpa  merangsang terjadinya  inflamasi  dan  respon  imun. Terjadinya defek  pada  clearance  dari  sel-sel  apoptosis  diduga akibat  dari  defek  dalam  jumlah  dan  kualitas  dari protein  komplemen  seperti  C2,  C4  atau  C1q.
Beberapa  studi  menunjukkan  bahwa  terjadinya autoantibodi  pada  SLE  akibat  2  perubahan  mayor yaitu  meningkatnya  apoptosis  limfosit  dan  monosit dalam  sirkulasi  dan  kesalahan  dalam  pengenalan autoantigen yang dilepaskan selama apoptosis.



Gambar 5. Patogenesis SLE

c.       Autoantibodi pada SLE
Autoantibodi merupakan bagian integral dari proses klasifikasi dan deteksi
beberapa penyakit yang diperantarai oleh  autoimun. Antibodi  antinuklear (ANA)  ditemukan  40  tahun  yang  lalu dan  diduga   terdapat  kaitan  yang  erat  dengan  SLE.  Antibodi  antinuklear  bukan  hanya  merupakan  satu jenis antibodi, tetapi terdapat berbagai antibodi yang berbeda  yang  berkaitan  dengan  penyakit  dan manifestasinya. ANA adalah antibodi terhadap  inti sel baik membran inti maupun DNA. Target antigen sangat heterogen dan bervariasi dalam satu penyakit.  Bervariasinya peranan biologi dari berbagai  antibodi  antinuklear  maka  tidak  mungkin memperkirakan outcome klinis pasien hanya berdasarkan profil autoantibodi saja.
Beberapa  antibodi  antinuklear  (ANA) dikatakan  spesifik  berkaitan
dengan  manifestasi klinis aktivitas SLE dapat dilihat pada tabel. 




Tabel 5. Antinuklear Antibodi Spesifik












ANA  tes  merupakan  penapisan  awal  yang efektif  pada  pasien  dengan  gambaran  klinis  SLE. Lebih lanjut pada pasien dengan  ANA positif perlu dilakukan  pemeriksaan  jenis  autoantibodi  yang lebih  spesifik  seperti  anti-dsDNA.    Pada  kriteria diagnosis  SLE  menurut  ACR  1982  disebutkan  titer abnormal  ANA  tetapi  tidak  disebutkan  nilai  batas tersebut.  Secara  umum  bisa  dikatakan  semakin tinggi  titer  ANA  semakin  berarti  terutama  pada pasien  muda.  Apabila  ANA  negatif  maka kemungkinan  SLE  sangat  kecil.  ANA  negatif didapatkan  pada  2%  pasien  SLE  dengan  metode pemeriksaan  yang  saat  ini  ada  yaitu  yang menggunakan  human  tissue  culture  cell  sebagai subtrat, sedang apabila dengan menggunakan rodent tissue  subrate,  SLE  dengan  ANA  negatif  bisa sampai  5%.  Pada  pasien  SLE  dengan  ANA  negatif ini  ternyata  apabila  diperiksa  dengan  ELISA  yang sensitif  didapatkan  anti  Ro  dan  La  positif  hampir 100%  .  Pada  SLE  yang  sebelumnya ANA  positif bisa menjadi negatif saat remisi. Hal ini didapatkan pada  10-20  kasus  terutama  pasien  yang  mengalami gagal ginjal. Menghilangnya ANA pada pasien yang sebelumnya  positif  tidak  bisa  diasumsikan  bahwa perjalanan SLE sudah selesai. Hingga saat ini belum diketahui kaitan  antara tingginya titer ANA dengan manifestasi  klinis,  aktivitas  penyakit  maupun kecendrungan  untuk  terjadi  kekambuhan.  Metode pemeriksaan  yang  sering  digunakan  untuk pemeriksaan  ANA  adalah  indirect immunofluorescence dan ELISA. ANA  yang paling memiliki makna klinis adalah IgG.
Antibodi  antinuklear  juga  positif  pada sebagian kasus sindrom sjogren, scleroderma, mixed connective-tissue disease dan SLE yang diakibatkan oleh  obat.  Beberapa  penyakit  non  rheumatik  yang juga  sering  menunjukkan  tes  yang  positif  terhadap antibodi  antinuklear  meliputi  penyakit  infeksi seperti  HIV,  hepatitis  virus.  Penyakit  tiroid  oleh karena  autoimun  misalnya  graves  disease, hashimoto thyroiditis.
Tabel 6. ANA  positif  pada  beberapa  penyakit reumatik autoimun dan kondisi lain.
ANA  tes  yang  positif  pada  pasien  tanpa gejala  klinis  SLE  memerllukan  interpretasi  yang hati-hati.  Dilakukannya  skrening  asimptomatik lebih  sering  memberi  hasil  yang  false  positif daripada  true  positif  dan  tidak  memberikan perbaikan  outcome  klinis  dan  sebagian  besar  dari mereka ternyata tidak pernah menjadi SLE.  Sampai saat  ini  masih  belum  jelas  bagaimana memperkirakan bahwa orang dengan hasil tes ANA positif  tanpa  gejala  klinis  yang  cukup  akan berkembang  menjadi  SLE  dan  tidak  ada  terapi spesifik yang dapat dilakukan untuk pencegahan.

  1. Sindrom Sjorgenn
Sindrom  Sjogren atau  sering disebut  autoimmune  exocrinopathy  adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan gejala  kekeringan  persisten  pada  mulut  dan  mata  akibat  gangguan  fungsional  kelenjer saliva dan lakrimalis. Sindrom Sjogren diklasifikasikan sebagai Sindrom Sjogren Primer bila  tidak berkaitan  dengan  penyakit  autoimun  sistemik dan  Sindrom  Sjogren  Sekunder bila  berkaitan  dengan  penyakit  autoimun  sistemik  lain  dan  yang  paling  sering  adalah Artritis Reumatoid, SLE dan Sklerosis Sistemik. Sindrom Sjogren Primer paling banyak ditemukan sedangkan Sindrom Sjogren Sekunder hanya 30 % kejadiannya.1 
Sindrom  Sjogren  bisa  dijumpai  pada  semua  umur,  sering  umur  40-60  tahun terutama  perempuan  dengan  perbandingan  perempuan  dengan  pria  9:1.  Sampai  saat  ini prevalensinya  belum  diketahui  dengan  pasti,  diperkirakan  prevalensi  Sindrom  Sjogren sekitar  0,1    0,6  %  karena  seringnya  sindrom  ini  bertumpang  tindih  dengan  penyakit rematik  lainnya.  Selain  itu  gejala  klinik  yang  muncul  pada  awal  penyakit  sering  tak spesifik,  di  Amerika  diperkirakan  penderita  Sindrom  Sjogren  sekitar  2-4  juta  orang, hanya lima puluh persen saja yang tidak tegak diagnosanya dan hampir 60 % ditemukan bersamaan  dengan  penyakit  autoimun  lainnya  antara  lain  Artritis  rematoid,  SLE  dan Sklerosis Sistemik.2
Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880,  kemudian  Sjogren  di  Swedia  tahun  1933  melaporkan  bahwa  Sindrom  Sjogren terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960 baru ditemukan adanya  autoantibodi  anti–Ro(SS-A)  dan  anti-La(SS-B).  Sinonim  antara  lain  Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome, Sicca Syndrome dan autoimmune exocrinopathy 1.2
Etiologi  Sindrom  Sjogren  sampai  saat  ini  masih  belum  diketahui.  Terdapat peranan  faktor  genetik  dan  non  genetik  pada  patogenesis  Sindrom  Sjogren.  Dilaporkan adanya kaitan antara Sindrom Sjogren dengan HLA DR dan DQ.
  1. Defenisi
Sindrom  Sjogren atau  sering disebut  autoimmune  exocrinopathy  adalah penyak autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan gejala  kekeringan  persisten  dari  mulut  dan  mata  akibat  gangguan  fungsional  kelenjar saliva dan lakrimalis.
  1. Etiologi
Etiologi  Sindrom  Sjogren  sampai  saat  ini  masih  belum  diketahui.  Terdapat peranan  faktor  genetik  dan  non  genetik  pada  patogenesis  Sindrom  Sjogren.  Dilapork adanya kaitan antara Sindrom Sjogren dengan HLA DR dan DQ. Kaitan antara HLA dan Sindrom  Sjogren  didapatkan  hanya  pada  pasien  yang  meliputi  antibodi  anti  SS-A  d atau  anti  SS-B.  Diperkirakan  terdapat  peranan  infeksi  virus  (Epstein-Barr,  Coxsack HIV dan HCV ) pada patogenesis Sindrom Sjogren.
  1. Patofisiologi
Reaksi  imunologi  yang  mendasari  patofisiologi  Sindrom  Sjogren  tidak  hanya sistim imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim humoral ini dapat  dilihat  adanya  hipergammaglobulin  dan  terbentuknya  autoantibodi  yang  berada dalam sirkulasi. 
Gambaran  histopatologi  yang  dijumpai  pada  SS  adalah  kelenjer  eksokrin yang dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar kelenjer dan atau duktus,  gambaran histopatologi  ini  dapat  ditemui dikelenjer saliva,  lakrimalis  serta kelenjer  eksokrin  yang  lainnya  misalnya  kulit,  saluran  nafas,  saluran  cerna  dan  vagina.
Fenotip  limfosit  T  yang  mendominasi  adalah  sel  T  CD  4  +.  Sel-sel  ini  memproduksi berbagai  interleukin  antara lain  IL-2,  IL-4,  IL-6, IL1  A dan TNF  alfa  sitokin-sitokin ini  merubah  sel  epitel  dan  mempresentasikan  protein,  merangsang  apoptosis  sel  epitel kelenjer  melalui  regulasi  fas.  Sel  B  selain  mengfiltrasi  pada  kelenjer,  sel  ini  juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.
Adanya  infiltrasi  limfosit  yang  menganti  sel  epitel  kelenjer  eksokrin, menyebabkan penurunan fungsi kelenjer yang  menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjer saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Peradangan pada kelenjer eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjer.
Gambaran  serologi  yang  didapatkan  pada  SS  biasanyan  suatu  gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan imonuglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA dan antibodi  non  spesifik  organ.  Pada  pemeriksaan  dengan  teknik  imunofloresen  Tes  ANA menunjukan  gambaran  spekled  yang  artinya  bila  diekstrak  lagi  maka  akan  dijumpai autoantibodi Ro dan La.
Adanya  antibodi  Ro  dan  anti  La  ini  dihubungkan  dengan  gejala  awal  penyakit, lama  penyakit,  pembesaran  kelenjer  parotis  yang  berulang, splenomegali,  limfadenopati  dan anti La sering dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjer eksokrin minor. Faktor  genetik,  infeksi,  hormonal  serta  psikologis  diduga  berperan  terhadap patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi.





Gambar. 6 Mulut Kering pada Penderita


 














Gambar 7. Pembesaran Kelenjar Parotis Penderita


  

DAFTAR PUSTAKA


Amino N. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab 1988;2(3):591-617.

Baratawidjaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Universitas Indonesia Press.

Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820- 821.

Carella C, Maziotti G, Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et al. Long-Term outcome of interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity and prognostic influence of thyroid autoantibody pattern at the end of treatment. J Clin Endocrinol Metab 2001;86;1925-1929.

Isbagio  H,  Albar  Z,  Kasjmir  YI,  Setiyohadi  B. Lupus  eritematosus  sistemik.  In: Sudoyo  AW, Setiyohadi  B,  Alwi  I,  Simadibrata  M,  Setiati  S, editors.  Buku  ajar  ilmu  penyakit dalam,  4th  ed. Jakarta:  Pusat  Penerbitan  Departemen  Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1224-35.

Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor, and PTPN22
gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back to the future. J Autoimmun
2007;28:85-98.

Munoz  LE,  Gaipl  US,  Franz  S,  Sheriff  A,  Voll RE,  Kalden  JR,  Herrmann  M.  SLE-a  disease  of clearance  deficiency  ?  Rheumatology 2005;44:1101-07.

Mok  C,  Lau  S.  Pathogenesis  of  systemic  lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003;56:481-90.

Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid 2008;18(10):1035- 1037.

Jenkins RC, Weetman AP. Disease associations with autoimmune thyroid disease. Thyroid
2002;12(11):977-988.

Perros P, McCrimmon R, Shaw G, Frier B. Frequency of thyroid dysfunction in diabetic patients; value of annual screening. Diabet Med 1995;7:622-627

Gerstein HC. Incidence of postpartum thyroid dysfunction in patients with Type 1 diabetes
mellitus. Ann Intern Med 1993;118(6):419-423.

Rengganis  I.  Tatalaksana  holistik  SLE.  In: Setiati  S,  Alwi  I,  Kolopaking  MS,  Chen  K,
editors.  Current  diagnosis  and  treatment  in internal  medicine.  Jakarta:  Pusat  Informasi  dan Penerbitan  Departemen  Ilmu  Penyakit  Dalam FKUI; 2004.p.1-11.

Ridgway EC, Tomer Y, McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin Endocrinol Metab
2007;92:3755-3761.

Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest 2001;108:1253-1259

Sumariyono.Diagnosis  dan  tatalaksana  Sindrom  sjogren.  Kumpulan  makalah  temu
ilmiah Reumatologi.2008:134-136.

Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes : from gene
mapping to gene function. Endocrine Rev 2003;24(5):694-717.

Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G. Autoimmunity of
thyroid disease. With emphasis on Graves’ disease. Neth J Med 1985;28:

Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid autoimmunity.Thyroid 2007;17(10):975-9.

Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.

Wu P. Thyroid disease and diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.

Yuliasih.  Sindrom  sjogren.  Buku  ajar  Ilmu  Penyakit  Dalam.jilid  II  edisi  IV.  Pusat
Penerbitan  IPD FKUI.2006:1193-1196.